(02) dua kali

72 22 10
                                    

Izin beberapa hari dan meninggalkan kelas praktik membuat Minho tertinggal dari teman sekelasnya yang lain. Ia harus mengambil lembur sejak beberapa hari belakangan, mengejar ketertinggalannya sebelum pengambilan nilai praktik dinyatakan selesai di esok hari.

Netranya menangkap panorama dari balkon lantai tiga. Pemuda tampan itu sehabis mengambil beberapa barangnya yang sengaja ia tinggal di ruang kelas saat ia menjalankan praktik di workshop. Bukannya langsung menuju parkiran dan pulang ke rumah, Minho memilih untuk berdiam diri sejenak sambil memandangi beberapa orang lainnya yang masih menghabiskan waktunya di kampus saat matahari hampir terbenam seperti sekarang ini.

Tombol daya ditekan hingga layar ponselnya menyala dan menunjukkan hampir pukul enam sore. Setelahnya ponselnya dimasukkan dalam saku jaket, namun tangannya merasakan ada benda lain di dalam sana. Minho mendapati sebatang rokok yang diingatnya tadi diberikan oleh Lucas saat jam istirahat.

Ctakk

Pematik dinyalakan hingga ujung lintingan tembakau tersebut terbakar. Dihirup dan dihembuskan pelan, Minho menikmati rokoknya sambil menumpukan lengan pada tembok pembatas balkon. Sekelebat teringat bahwa ibunya mungkin tidak melarang soal ini, beliau hanya kurang suka. Minho rasa satu batang bukan menjadi masalah, toh terakhir kali merokok adalah dua minggu lalu.

Drap drap drap

Minho tahu ada yang datang, kepalanya menoleh dan menjadi terkejut sendiri saat melihat pemuda berkulit putih dan berpipi tembam hanya berdiri sambil memandangnya dengan agak sinis.

"Mahasiswa baru aja ngerti kalo gedung kelas teori termasuk area yang ga dibolehin buat ngerokok."

Minho membalikkan badan menghadap pemuda yang kini melangkah maju mendekatinya. Bara api terjatuh ke lantai keramik, makin membuat pandangan salah satunya makin sinis saja.

"Ini udah di luar jam pelajaran," ucap Minho santai.

Jisung, pemuda yang kini mengernyitkan dahi sambil melipat tangan di depan dada.

"Lo pikir kalo jam kuliah udah selesai gak ada potensi bahaya kalo ada mahasiswa ngerokok di area gedung?"

Minho hanya tak suka diusik. Yang ia ingat terakhir kali bertemu dengan pemuda di depannya adalah saat di ruang rapat, keduanya saling melemparkan argumen yang untungnya segera dihentikan oleh Yunho, si ketua BEM dari jurusan Ilmu Politik.

Minho terpaksa menghentikan aksi menghisap sebatang rokoknya, mematikan bara api dengan menginjak-injaknya dengan sepatu safety hitam yang ia kenakan. Kepalanya terangkat dan menatap Jisung yang ia kira akan menampilkan raut puas, namun ternyata yang lebih muda hanya memasang wajah datar.

"Lo ngapain di gedung Teknik Mesin?" Mata Minho menyipit menandakan kecurigaannya.

Jisung baru ingat mengenai keberadaannya di sini, tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Gue kesasar."

Tidak. Jisung bukan mahasiswa baru yang masih bingung dengan tata letak kampus, ia hanya jarang berkeliling di gedung jurusan lain. Setelah mampir dari ruang kemahasiswaan dan hendak kembali ke lantai dasar, lift terdekat tidak berfungsi, ia tidak mengerti karena beberapa menit sebelumnya masih dapat digunakan. Situasi tersebut mengharuskannya mencari tangga darurat untuknya bisa kembali ke lantai dasar.

Setelah kalimat terakhir yang dilontarkan Jisung, Minho hanya berjalan pergi dengan cuek. Jisung mau tak mau mengekor karena takut tertinggal sendirian karena sebentar lagi langit menggelap.

Netranya memandang pemuda yang tengah memimpin di depan, menuruni satu persatu anak tangga. Jaketnya agak kusut, rambut hitamnya ikut bergerak seraya kakinya melangkah menuruni tangga, ranselnya disampirkan di lengan kanan dengan gantungan kunci huruf M yang terkait pada resleting tas. Terlalu asik memperhatikan orang di depannya membuatnya tak menyadari bahwa keduanya kini telah mencapai lantai dasar, bahkan Jisung mengikuti Minho sampai parkiran.

"Lo parkir di sini juga?"

Jisung menggeleng. "Makasih ya."

Minho menyembunyikan senyumnya, kemudian mengangguk singkat. Seraya punggung yang lebih muda menjauh Minho sibuk bergelut dengan pikirannya, ternyata sosok pemuda bernama Jiandaru itu tidak terlalu menyebalkan.



"Hari gini masih dijajah sama tugas besar."

Ledekan Felix membuat Jisung melempar tutup pulpen ke arahnya. Felix terkekeh sebentar, lalu kembali mengunyah keripik kentang bungkusan yang tadi dibelinya di minimarket sebelum menuju ke kost Jisung.

"Gue pengen cepet lulus, udah gitu aja."

Jisung kembali bergelut dengan tugas-tugasnya. Kacamata anti radiasinya yang sedikit menurun dibenarkan hingga menempel ke pangkal hidung sebelum netranya kembali menatap serius ke layar laptop.

"Jian," panggil Felix.

"Hm?" Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Lo pernah gak sih suka sama orang yang seharusnya gak lo suka? Kayak suka aja gitu ngeliat dia, tingkah lakunya, cara dia ngomong, semuanya deh." Binar mata Felix saat mengatakan kalimatnya tak dilihat karena Jisung duduk memunggunginya.

"Gak tau, gak pernah."

Ada jeda di antara kalimatnya. Jisung kini penasaran. "Lo lagi naksir siapa emang?"

"Bang Abin."

Mata Jisung membulat. "Gila lo, Lix?!"

Felix hanya menunjukkan cengirannya saat Jisung berbalik menghadapnya.

"Dia orang ter-straight yang pernah gue tau. Lo jangan coba-coba lah."

"Ck, dia belum nyoba aja kali, Ji."

Kepala Jisung berdenyut. Sudah pusing karena tugas kuliahnya, kini pikirannya terbebani oleh pengakuan dari sahabatnya yang ternyata menyukai teman satu kost sekaligus kakak tingkatnya di kampus.

"Lo selama ini ga mau pacaran bukan karena ga cocok sama cewenya kali. Bisa jadi karena salah target, coba deh macarin cowok aja, Ji."

Makin gila si Felix ini. Kepala Jisung hampir saja meledak karena opini tak masuk akal dari pemuda bersuara berat itu.

Dering telepon berbunyi membuat Jisung dan Felix mencari asal suara, ternyata sumbernya dari ponsel Jisung di atas meja belajar.

"Panjang umur, Bang Abin nelfon."

Jisung meraih ponselnya. "Halo, Bang?"

"Jian, gue minta tolong ambilin paketan gue di ruang tengah, trus kasihin ke temen gue."

"Temen lo banyak. Yang mana?"

"Dianya udah di depan kost. Oh iya, paketan gue kata Kak Chandra ditaruh di deket meja kayu. Makasih ya, Ji."

Jisung mengangguk meski tak dapat Changbin lihat. "Oke, Bang."

Felix tidak sempat bertanya karena Jisung lebih dulu keluar dari kamarnya dan membiarkan pintu terbuka lebar, menampilkan ruang tengah yang biasanya digunakan oleh Jisung dan penghuni kost lain untuk bersantai bersama-sama.

Sesuai instruksi dari Changbin, setelah mendapatkan apa yang dicari lantas ia segera menghampiri teman Changbin yang katanya sudah menunggu di depan kostnya.

Jisung terburu-buru membuka pintu. "Sorry agak lama, tadi ada beberapa paket lain jadi gue cari dulu yang mana punya Bang Abin."

"Oke, makasih."

Suaranya nampak familiar, seperti baru beberapa waktu lalu Jisung mendengar suara ini.

Deg

Jisung menyimpan keterkejutannya saat melihat pemuda di depannya adalah Nino, mahasiswa Teknik Mesin yang tadi sore baru saja membantunya menemukan jalan hingga ke parkiran.

"Gue hari ini udah dua kali ketemu lo. Kalo besok sampe ketemu lagi, jodoh kali kita," canda Minho dengan kekehan di akhir kalimatnya.

"Gue balik dulu ya. Thanks."

Jisung tak bergeming, hanya berdiam diri dan merasakan bunyi detak jantungnya yang kian mengeras.


TBC

halo gaiss, jarak upload chap 1 dan 2 agak panjang juga nih ternyata sampe ganti tahun 😭🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FREAKING SPECIAL [Minsung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang