⭐ Jimin Park ⭐

62 26 77
                                    

Suara gemuruh menggema saat detik-detik terakhir menuju peluit panjang berbunyi, napas yang tersengal pun ikut melangitkan do'a agar kaki yang berlari di putaran terakhir mendarat lebih dulu ke garis finish. Peluh yang menetes tak dihiraukan, semua mata fokus mengawasi lintasan yang masih menunggu jawaban.

Tap!

Priitttt!

Peluit tanda berakhirnya permainan melengking sedetik lebih lambat dari pendaratan indah yang dilakukan oleh salah satu peserta, sudah dipastikan mereka lah pemenang lomba lari estafet kali ini. Babak menegangkan berakhir, gemuruh berubah menjadi sorakan bahagia atas kemenangan Lightlubie School. Pelari estafet yang tadi mengorbankan kontrol jantung tak terkendali kini saling merangkul, perjuangan mereka tidak sia-sia berlatih untuk bertahan dari titik awal perlombaan.

"Yo! Jimin Park, congrat's!"

"Thanks, Bro."

Jimin membawa tasnya pergi, kaki yang sering dibilang pendek dan mungil itu ternyata menyimpan keistimewaan tersendiri. Gelar atlet lari estafet terbaik sejauh ini masih ia pegang dengan perolehan medali emas tiga kali lebih banyak dibanding yang lain.

Jimin berhenti saat melihat seorang gadis berjalan ke arahnya, lelaki itu meletakkan tas yang ia bawa lalu merentangkan tangan. Bukan untuk dipeluk, melainkan memberi jawaban yang ambigu atas kemenangannya dan juga perjanjian mereka.

"Aku sudah berusaha, tapi mereka terlalu lambat larinya."

Plak!

Wajah Jimin terlempar ke kiri, ada nyeri dan kebas yang berusaha ia tahan di balik senyum sarkas. Aura murka dan kecewa begitu kentara dari wajah di hadapannya, gadis ini seolah berusaha membendung air mata agar tidak turun begitu saja.

"Kau sengaja, 'kan? Katakan saja kalau memang kau mau semuanya berakhir." Ada gemeletuk gigi yang terdengar sangat emosional.

"Sesuai perjanjian, kita putus."

Jimin tak menggubris kalimat gadis itu dan justru memutuskan sendiri hasil akhir mereka, diambilnya kembali tas sembari meninggalkan area stadion. Ada senyum yang mengembang, senyum kebebasan yang sudah lama ia nantikan.

"Kau serius meninggalkan Mihya dengan cara seperti ini?"

Jimin mengangkat sebelah alisnya. "Memang harus dengan cara apa lagi? Bukankah ini hal yang biasa, kau tahu itu 'kan, Kook."

Jungkook mengangguk. "Dia tidak akan bertahan dengan satu perempuan lebih dari dua bulan."

"Kau tidak ingin berubah?" Tae tampak tidak menyukai perangai sahabatnya ini. "Kapan kau akan berhenti bermain dan membuang-buang waktu?"

Sampai aku berhasil menemukannya, batin Jimin.

Lelaki dengan medium lenght layered hair cut ini baru saja usai membersihkan diri, turun ke ruang makan keluarga menemui dua orang yang semakin senja semakin lengket. Siapa lagi jika bukan kedua orang tuanya, Jimin sangat memahami tidak akan ada orang lain yang sanggup seperti mereka.

"Ma, Pa, jangan begitu terus, kalian tahu jiwa kesepianku mudah rapuh."

Tawa seorang wanita berusia lima puluhan itu terdengar sangat renyah. "Makanya jangan serius sekali, bawa lah pacar kesini biar dia tahu kamu sering iri."

"Iya, adikmu saja sudah berani meminta pendapat tentang lelaki yang dia sukai. Kapan kamu akan bertanya begitu?"

Jimin mengerucutkan bibir, kesalahan yang tidak bisa ia tarik karena berani mengganggu romantisme pasangan di hadapannya. Pria dan wanita yang selalu membebaskan putra dan putrinya jika ingin menjalin hubungan, meski begitu mereka tetap akan menerapkan parenting yang baik sampai akhirnya Jimin dan sang adik berani melangkah ke jenjang serius.

"Vey belum pulang?" tanya Jimin mengalihkan obrolan.

"Sudah, tadi dia izin keluar dengan temannya."

"Eodiga?"

"Katanya ada festival, dia pergi dengan dua temannya itu."

Jimin hanya mengangguk, ia tidak perlu bertanya siapa dua orang yang selalu ada di samping sang adik. Jelas saja ia paham sejak awal masuk sekolah dasar, mereka sudah bersahabat dan saling melengket seperti lem. Uniknya, takdir membawa mereka bertemu di sekolah yang sama, padahal Vey mengatakan ia sudah siap jika nanti tidak bertemu dua gadis itu lagi. Mereka merahasiakan tujuan setelah lepas dari sekolah dasar, bertemu di hari pertama sekolah membuat mereka yakin jika orang tuanya turut mendukung takdir persahabatan.

"Kau tidak mau mencoba dekat dengan salah satu dari mereka?"

"Appa, jangan bercanda. Kalau aku berkencan dengan satu diantara mereka, rasanya akan sama seperti aku merawat Livey."

Dua orang itu tahu kedekatan Jimin dengan putri kedua mereka, sejak kecil lelaki ini menjadi yang paling protektif dan penyayang kepada sang adik.

Makan malam terlewati bersama celoteh ketiganya, jika ada Vey biasanya Jimin lebih aktif karena ia tahu sang adik mudah sekali dipancing hingga menimbulkan keributan.

Menutup pintu lalu mendaratkan pantatnya di sofa, Jimin membuka gawai yang tadinya ia charger. Membuka beberapa room chat dari arsip maupun pribadi, ia beralih ke Insta setelah tidak menemukan mood untuk meladenin tumpukan pesan.

Lelaki Park itu spontan menegakkan tubuhnya saat melihat postingan sebuah akun, seseorang yang sejak lama ia ikuti secara diam-diam dan berusaha untuk tidak menampakkan diri. Selain karena ia belum punya alasan untuk mengungkap tujuan, Jimin menjaga status centang biru pada akunnya yang juga memiliki banyak pengikut dan akan berdampak jika ia muncul di tempat-tempat tertentu.

Setelah puas membaca komentar dan tanggapan, ia meluncur kembali ke aplikasi chat room yang tadi diabaikan. Membuka grup yang hanya berisi tiga orang, siapa lagi jika bukan Tae dan Jungkook yang sibuk meramaikan obrolan.

Ya! Kalian sudah mendengar akan ada siswi baru? |

Kook 👀
| Hmm ... begini nih kalo sibuk sama dunia sendiri, kita di atas udah bahas, Bang ... ke.

Ngomong apa? Berani sekarang, ya.|

Tae💡
| Kayaknya dia trouble banget bocahnya, gausah aneh² kau, Jim

Ada smrik yang muncul begitu saja, Jimin tidak lagi menggubris Jungkook yang berulangkali mengirim stiker random. Ide grup chat ini dicetus oleh lelaki paling muda diantara mereka, meski begitu Jungkook memiliki otak paling encer dari keduanya hingga bisa berada di kelas yang sama.

Jimin kembali menatap gambar yang baru saja dilihatnya, ada senyum samar yang sudah lama ingin ia lihat secara nyata. Meski sudah sepuluh tahun, ingatannya masih kuat untuk terus menunggu kesempatan seperti ini tiba.

"Kau adalah alasan yang membuatku seperti ini, lihatlah bagaimana kita akan bertemu lagi."

Jimin meletakkan gawainya, berpindah dari sofa menuju tempat empuk berbalut warna biru langit. Senada dengan cat tembok yang ia desain sendiri, kecintaanya pada langit membuat lelaki itu terlihat selalu terang dan tenang. Menutup mata sembari bergumam, entah mengapa ia ingin cepat bertemu pagi.

Sepuluh tahun terjawab, kali ini aku akan menarikmu, batin Jimin.

Lampu kamar yang sudah diatur sesuai jam tidur perlahan meredup, lelaki itu menjemput mimpinya yang mungkin saja besok berubah menjadi nyata. Ada segaris senyum ketika memori dalam kepala memutar kejadian masa lalu, ternyata takdir benar menjawab tekadnya.

---- °• ----

Magical LoveOù les histoires vivent. Découvrez maintenant