TWO

83 10 4
                                    

Hari ini dia kena marah sebab nilai dari semua ulangannya berwarna merah. Bukankah ia sudah pernah bilang? Dirinya benci matematika, dan segala hal yang membutuhkan perhitungan rumit. Bermain dengan kata,  menari dengan nada, dan berlari di atas kanvas adalah tiga hal kesukaannya.

Namun, orang dewasa ini enggan mengerti. Di matanya, semua harus sempurna. Dengan menjadikan manusia lainnya sebagai patokan. Demi apa pun, Septian muak.

“Kalo Papa nggak puas sama hasilnya, jangan berharap ke aku, dong. Taruh harapan kalian sama Septa, karena dia udah cocok banget jadi duplikat Papa,” geramnya ketika dipaksa untuk mengikuti les privat guna menaikkan nilai-nilainya.

Suaranya begitu lantang, sedangkan sosok yang disebut berdiri tepat di sampingnya. Namun, Septian tak peduli, pertengkaran dengan sang ayah sepeeti ini sudah sering terjadi. Dan Septa selalu ada di antara keduanya, hanya bungkam tanpa berani menginterupsi.

“Kamu—" Suara pria itu tercekat di tenggorokan, tak tahu harus melontarkan balasan apa atas jawaban si sulung.

Kedua tangannya terkepal, mati-matian menahan diri untuk tidak membiarkan dirinya dikuasai emosi. Menyadari jika sang ayah sudah di ambang batas, Septian buru-buru buka suara.

“Pokoknya aku nggak akan ikuti kemauan Papa. Aku mau ambil jalanku sendiri, tanpa campur tangan Papa ataupun Mama,” pungkasnya lantas berbalik pergi.

Meninggalkan sang ayah yang masih bergeming di tempatnya. Dan tak lama kemudian, Septa memutuskan untuk mengikuti langkah sang kakak meninggalkan ruangan itu.

“Tian, yang lo bilang tadi berlebihan nggak, sih? Papa cuma mau yang terbaik buat kita aja, jadi kenapa lo bersikeras mau pilih jalan hidup sendiri?” sergah Septa yang mengikuti langkah Septian menuju kamar remaja berkaus biru itu.

Mendapat pertanyaan itu, Septian menatap cowok yang hanya berbeda sepuluh menit darinya itu sejenak.

Ia tersenyum remeh. “Sebenernya lo tahu arti hidup nggak, sih?” tanya Septian sembari menatap dalam sosok yang kini berdiri tepat di hadapannya.

“Maksudnya?” Septa mengerutkan kening, kembali dibuat tak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan saudaranya.

“Lo nggak bisa disebut hidup kalau lo sendiri nggak punya hak atas kehidupan sendiri,” sahut Septian yang sudah duduk di kursi belajarnya sembari membolak-balik buku sketsa yang baru-baru ini ia beli.

“Jadi selama ini gue nggak hidup, dong?” Lagi, Septa bertanya dan hal itu sukses membuat sang kakak jengah.

“Iya, lo mati,” jawab Septian, “udah pergi sana. Ngapain, sih, ngikutin sampai kamar? Gue mau tidur,” lanjutnya membanting pelan buku di genggamannya kemudian beranjak ke atas kasur.

Mengerti dengan tabiat Septian yang tak suka dihujani dengan rentetan pertanyaan, Septa memutuskan untuk mundur. Dengan langkah gontai cowok itu meninggalkan kamar yang dulu menjadi tempat untuk keduanya tidur. Namun, ketika beranjak remaja, Septian merengek untuk menguasai kamar ini sendiri. Membuat Septa mengalah dan berpindah ke kamar yang berada tepat di samping milik Septian.

“Jadi definisi hidup yang sebenarnya kayak apa, sih?” gumam remaja itu tepat sebelum menutup pintu kamarnya.

🍃🍃🍃

Salam

Vha
(14-01-2023)

If Only Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang