Echa, si Anak Bungsu; 03

1.4K 374 13
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Echa, enak ya jadi anak bungsu! Pasti nggak perlu menuhin ekspektasi orang tua."

Sejatinya, posisi apapun kita sebagai anak, nggak ada yang namanya si paling enak dan si paling nggak enak.

Setiap anak punya porsinya masing-masing, dan setiap anak punya enak dan nggak enaknya masing-masing pula.

Personally, aku suka jadi anak Mamaku. Dan nggak specifically sebagai anak bungsu.

Tapi aku nggak suka dipandang sebagai anak yang paling hidup enak, sedangkan aku juga punya bahu yang ditimpa kekhawatiran setiap harinya.

"Apa hari ini aku udah ngelakuin yang terbaik buat orang tuaku? Buat diriku sendiri? Apa aku udah bikin Mama bangga? Apa yang aku lakuin selama ini cukup? Atau masih kurang juga?"

Nggak tahu gimana soal kakak-kakakku, tapi melihat mereka hidup dengan prinsip bodo amat, aku cenderung nggak bisa kayak gitu.

Aku kadang mendengar opini buruk tentang diriku dari orang lain, dan aku nggak bisa melupakan itu semua dalam satu malam.

Untuk beberapa hari ke depan aku akan overthinking, mempertanyakan apakah benar aku ini seperti apa yang mereka pikirkan, atau memang aku saja yang kurang peka terhadap sekitar sampai akhirnya aku nggak sadar kalau aku lah masalahnya.

Cerita pada Kak Ital, dia akan dengan tegas menjawab, "Nggak usah dengerin omongan orang, anggep aja sampah ngomong. Nggak ada yang tahu kamu selain diri kamu sendiri."

Untuk pribadi yang santai dan tajam seperti Kak Ital, itu semua pasti mudah.

Bagiku, nggak demikian. Isi kepalaku sering kali penuh oleh hal-hal yang nggak masuk akal, dan membersihkan hal-hal yang nggak masuk akal itu waktunya nggak singkat.

Aku kadang kesal dengan sifatku yang suka ribet ini, tapi mau bagaimana lagi. Merubah watak nggak bisa dilakukan dalam satu malam, dan selama 19 tahun, aku sudah menjalani hidup dengan cara yang seperti ini.

Bagi orang-orang mungkin aku kelihatan hidup enak, tapi coba saja hidup sebagai aku satu hari, aku nggak yakin kalian bisa bertahan sampai sejauh ini.

"Echa kan anaknya pede dan selalu optimis."

Dari luar kelihatannya mungkin begitu. Tapi bila jauh melihat ke dalam diriku, sebenarnya aku hanya seorang pesimis yang berusaha terlalu keras untuk mencapai puncak lewat kemampuanku yang terus aku asah.

Aku kadang kesal dengan anggapan Bang Kapi tentang aku, kalau katanya aku "terlahir cerdas". Padahal nggak sama sekali.

Iya, dulu aku memang diberi kemampuan lebih cepat belajar daripada anak-anak pada umumnya, tapi kemampuanku itu sebetulnya berhenti setelah aku masuk sekolah dasar. Kepintaranku nggak natural, tapi karena aku terus melatih diriku sendiri agar ilmuku semakin bertambah.

Point of ViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang