XVIII. Kalian terbaik

102 12 0
                                    

"Walau teman-temanku aneh, tapi mereka selalu menghibur disaat aku putus asa, selalu ada disaat aku kesepian, selalu menolong disaat aku memerlukan bantuan. Terima kasih." -Arjuna Barra Alvarendra.

Sudah terhitung 5 hari Ajun berada di Rumah Sakit setelah, kecelakaan itu terjadi. Sekarang Dokter sudah memperbolehkan ia untuk pulang.

Kekhawatiran Rendra benar saja, Ajun berubah menjadi sosok yang pendiam, dia menjadi jarang bicara bahkan untuk menjawab pertanyaan saja ia biasanya hanya menggeleng atau mengangguk. Jiun dan Dobby sudah lelah dengan semua ini, mereka merasa mendapat tekanan batin karena terus-terusan di hantui perasaan bersalah kepada Ajun.

Biasanya Rendra akan mengandalkan Calista untuk menemani Ajun karena jika bersama Calista, Ajun bisa tersenyum, Ajun juga akan berbicara banyak jika dengan Calista. Tapi saat ini Calista tidak ada untuk menemani Ajun karena ia ada urusan, jadilah mereka bertiga yang harus berusaha untuk menemani Ajun selama perjalan pulang agar Ajun tidak merasa kesepian walaupun, selama diperjalanan Ajun hanya menanggapi dengan menjawab seadanya. Tidak, mereka tidak merasa terpaksa untuk melakukan in hanya saja, suasana canggung yang menyelimuti itulah yang membuat suasana menjadi tidak nyaman.

"Kalian ada mau mampir dulu?" tanya Rendra sambil fokus menyetir mobil.

Untuk sementara, Rendra tidak akan mengijinkan ketiga putranya untuk mengendarai mobil lagi, jadi ia akan mengambil cuti sampai semua sudah kembali normal lagi.

"Enggak Ayah," sahut Jiun yang duduk di samoing Ayahnya.

Rendra mengangguk paham. "Kalau Dobby sama Ajun?" tanya Rendra.

"Enggak Ayah," jawab Dobby.

"Ga," jawab Ajun singkat.

Rendra menghembuskan napas panjang, harus bagaimana ia agar putra bungsunya bisa kembali tertawa lepas? Ia ingin mendengarnya lagi. Apa ia harus membuat sayembara agar putranya tertawa? Ahh tidak, sudah pasti Calista memenangkan sayembara itu dengan mudah.

"Eum, main tebak-tebakan yuk!" ajak Jiun, ia ingin mencairkan suasana.

"Ayuk!" seru Dobby.

Dobby melirik adik bungsunya, terlihat tidak tertarik dengan ajakan Jiun. "Lo ga mau ikut, Jun?" tanya Dobby.

Ajun hanya menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Walau ia tidak dapat melihat setidaknya ia masih bisa merasakan angin dingin yang terus menerpa wajahnya.

Jiun menunduk kan kepalanya, ia memainkan jarinya. Rendra menoleh ke arah putra sulungnya, meraih dan menggenggam tangan berurat itu. Ia tersenyum. "Gapapa," lirih Rendra, yang hanya bisa di dengar oleh Jiun. Jiun tersenyum membalas ucapan Ayahnya.

"Udahh, kalian tidur aja dulu ya, nanti kalau udah sampai Ayah bangunin." ujar Rendra dengan lembut. Kedua putranya mengangguk.

Rendra melihat putra bungsunya dari kaca tengah mobil,  ia tersenyum, betapa damainya wajah Ajun  yang di terpa angin itu. Meski tidak ada senyum yang melengkung di wajah itu, tetap saja paras rupawannya masih mendominasi. Memang bibit unggul.

•••

Setelah menempuh satu jam lebih perjalanan akhirnya, mereka sampai di rumah. Rendra pun  membangunkan kedua putranya yang tertidur selama perjalanan tadi. Ajun? Ia tidak tertidur, ia hanya menikmati angin jalanan dari tadi.

Dobby membukakan pintu mobil untuk Ajun dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Ajun tidak menolak, ia menggenggam tangan Dobby sambil berjalan pelan-pelan.

Masalah dan Kita Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt