5| Jemputan

77 11 2
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Aku sedang menunggu jemputan Pak Wandi di restoran cepat saji dengan setumpuk makanan yang aku pesan. Ada ayam, kentang, nugget, segelas sundae, juga iced coffee. Makanan yang cukup banyak sebagai kompensasi atas memuncaknya amarahku. Bisa-bisanya aku yang biasanya berkepala dingin jadi termakan provokasi kecil dari Nataya tadi.

Dengan bekerja di tim hukum mereka, berarti aku harus memutar lagi kepala agar menjauh dari ranah hukum. Aku ingin bekerja, tapi tidak sebagai pengacara. Bagaimana kalau pekerjaan kecil ini akan membawaku menuju kesuksesan yang membuahkan kematian mengenaskan? Aku menggeleng kuat-kuat.

Aku hanya side character. Apakah kematianku memang sepenting itu? Apa aku benar-benar harus mati?

‘Lo bakal punya segalanya yang lo mau, kekayaan, kecantikan, cinta kejayaan, kecerdasan. Tapi satu hal, lo bisa dapetin semuanya kalo lo berhasil hidup!’

Kata-kata itu kembali berdering di kepalaku.

Benar. Jawabannya hanya satu. Hidup! Aku harus hidup bagaimanapun caranya!

Aku mengaduk minumanku dengan kesal sembari mengacak-acak rambut. Aku tidak bisa mundur. Aku akan magang di sana selama kurang lebih tiga bulan, kemudian memilih jenjang karir lain. Pasti ada yang bisa aku lakukan selain menjadi pengacara atau apapun yang bergerak di bidang hukum. Sebagai langkah awal menyelamatkan diri, aku tidak akan mengambil ranah itu.

Saat masih sibuk dengan isi kepala, aku bisa melihat orang lain menduduki kursi di hadapanku. Sebelum aku menatapnya, aku terlebih dulu menoleh untuk memastikan apakah tidak ada kursi lain yang kosong belum terisi daripada memilih duduk di depanku seperti ini. Aku menyatukan alisku, masih ada banyak kursi kosong!

“Eum sorry, tapi sepertinya di situ masih ada kursi kosong—“ ucapanku menggantung di tengah jalan ketika aku mendapati Nataya sudah duduk di kursinya dengan tatapan datar.

Ia ikut menoleh, mengikuti arah telunjukku. Buru-buru aku yang tadinya cenderung condong ke meja langsung duduk dengan tegak, dan membenarkan tatanan rambutku. Hell. Aku melakukannya bukan karena sengaja ingin terlihat cantik di hadapannya, tapi tidak juga ingin berpenampilan seperti orang gila semacam ini juga!

“Di sini juga kosong kan?” tunjuknya pada bangku yang di dudukinya.

Aku mendesah, terserahlah. Otakku terlalu sibuk untuk meladeninya.
Ia hanya membawa segelas iced coffee float yang artinya dia berada di sini tidak untuk makan. Sungguh kontras sekali dengan makananku yang senampan penuh.

“Nggak makan juga?” tanyaku canggung.

Ia menggeleng, “ini lagi minum.”

Nenek tua juga tau kali kalo lo minum! Dengusku dalam hati. Aku mencoba mengabaikannya dan asik memandang jalan yang berbatasan dengan kaca lebar di sampingku. Aku menikmati sundae sambil sesekali mengunyah nugget.

Melihatnya yang juga duduk tenang tanpa melakukan apa-apa, aku menyodorkan beberapa camilanku. “Kalau mau ambil saja.”

Aku masih belum bisa memutuskan untuk memanggilnya apa. Tentang pertemuan kami di kantor Papa aku juga belum menemukan kejelasannya. Aku tidak tau apa hubungan Jillian dengannya sebelumnya. Tapi aku berfirasat ini jauh lebih dari sekedar kenalan yang hanya bertemu sekali secara tidak sengaja.

“Nggak sibuk?” tanyaku karena aku amati dia hanya diam saja menatap lurus ke jalanan seperti yang aku lakukan.

Ia mengangguk, “tentu saja sibuk.”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 10, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Live My Second LifeWhere stories live. Discover now