- empat -

631 119 4
                                    

Jika bahasa jiwa seorang sastrawan adalah puisinya, bahasa jiwa seorang musikus adalah alunan melodi musiknya, bahasa jiwa seorang sutradara adalah naskah filmnya, maka bahasa jiwa seorang pelukis adalah karya lukisannya.

Bagi seorang pelukis, karya-karya lukisanya adalah bahasa jiwanya, cerita-cerita, kisah-kisah, hasrat dan keinginan yang terpendam di dalam dirinya.

Hyunjin selalu menuangkan perasaan yang tidak bisa tersampaikan dengan kata-kata melalui lukisan yang ia ciptakan. Kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan, serta perasaan lain yang tidak bisa Hyunjin sampaikan secara lisan telah ia curahkan pada sebuah kanvas dengan coretan cat air atau minyak sebagai gantinya.

Saat ini Hyunjin tengah berada di taman belakang kampus. Tempat ini jarang didatangi oleh mahasiswa karena kebanyakan dari mereka lebih memilih kafetaria atau halaman depan untuk sekedar nongkrong disela waktu kuliah mereka.

Semilir angin menggoyangkan rambut gelap Hyunjin saat sang empunya sibuk menggoreskan pensil pada buku sketsa miliknya. Seungmin ada kelas lain sehingga ia sendirian sekarang. Hari ini Hyunjin hanya memiliki satu kelas yang harus dihadiri, jadilah ia berada disini untuk menunggu Seungmin selesai dengan kelasnya agar mereka bisa pergi mengunjungi Jisung; teman mereka yang kini dirawat di rumah sakit karena diare. Hyunjin bisa membayangkan Jisung yang terus merengek meminta untuk pulang karena pria itu sangat tidak menyukai rumah sakit seperti halnya dirinya.

Hyunjin ingat ketika ia harus tinggal di rumah sakit karena demam tinggi. Saat itu usianya tujuh tahun. Sungguh sangat tidak nyaman berada di  sebuah tempat yang dipenuhi bau karbol dan obat-obatan. Hyunjin akan terus meminta sang Ibu untuk membawanya pulang, yang tentu saja tidak dikabulkan karena kondisinya yang masih lemah. Untunglah Sam selalu ada di sisinya sehingga Hyunjin tidak terlalu merasa tidak nyaman berada di rumah sakit.

Gerak tangan Hyunjin tiba-tiba berhenti kala kepalanya kembali dipenuhi oleh pemikiran tentang saudara kembarnya.

Ditutupnya buku sketsa sebelum tangannya meraih selambar kertas yang berisi formulir pendaftaran. Hyunjin sudah memutuskan untuk mengikuti kontes itu, dan ia tidak sabar menunggu hari dimana kontes tersebut diselenggarakan.

Hyunjin harus menang agar ia bisa pergi ke Amerika. Bukan hanya untuk kunjungan museum dan disukainya tetapi juga hal lain yang tak kalah penting baginya.

Sebenarnya bisa saja Hyunjin pergi tanpa mengandalkan hadiah itu. Tentunya ia punya uang, entah hasil dari perlombaan yang ia ikuti atau dari kerja paruh waktu yang ia lakoni. Tapi sekali lagi, Hyunjin tidak ingin Ibunya marah atau sedih. Ia tidak bisa berbohong pada sang Ibu tanpa mengatakan alasan sebenarnya ia pergi ke sana.

Tapi dengan hadiah itu, Hyunjin tidak perlu berbohong. Ia bisa memberitahu Ibunya alasan pergi ke Amerika, meski tidak mengatakan ada motif di balik kunjungan itu.

Itu bukan berbohong, kan?

Hyunjin hanya tidak mengatakan ia akan sekalian menemui Sam disana.

"Tuhan, aku sangat ingin bertemu dengannya," desah Hyunjin saat lelaki itu mendongakkan kepala menghadap langit biru di atasnya.

Hyunjin begitu merindukan Sam, dan ia berharap saudaranya juga merasakan hal yang sama dengannya.

*****

Fakultas Psikologi Miroh university menyelenggarakan studi banding ke Maxident university. Studi banding yang diikuti oleh pengurus dan staff dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi Miroh university  bersama perwakilan mahasiswa dari setiap lembaga kemahasiswaan yang ada di Fakultas Psikologi Miroh university itu diketuai oleh Seo Changbin.

Pada kunjungan pertama, rombongan mahasiswa disambut secara hangat oleh jajaran pengurus dan staff dari BEM Fakultas Psikologi Maxident university. Acara itu lalu dilanjutkan dengan presentasi tentang organisasi yang ada baik di Fakultas Psikologi Miroh university maupun di Fakultas Psikologi Maxident university yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.

FOUND YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang