Day One At Office

262 21 8
                                    

Di antara itu, kesediaan dunia pada pagi cerah untuk mengawali kegiatan di tempat baru itu, mengawali kehangatan yang sempurna. Di hari pertamanya, Zalina tiba paling pagi di kantor. Ia sudah tak lagi bingung harus pergi ke mana, atau menempati kursi yang mana. Sebab hari kemarin, seorang pria yang juga merupakan karyawan di sana, sudah menunjukkan di mana dirinya harus duduk.

Perempuan yang telah melupakan masa lalu itu, mendaratkan bokong di kursi yang mulai saat ini dan ke depannya, akan ditempatinya selama bekerja. Pandangan Zalina memutar ke sekeliling, tampak memindai hal-hal apa saja yang kini masih tampak asing.

"Selamat pagi!"

Sebuah suara perempuan yang terdengar begitu ceria dan penuh kenangan luka lama, membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh ke arah sumber suara itu. Tampak seorang perempuan bertubuh gempal, berpakaian rapi dengan rok selutut dan atasan blouse lengan panjang. Di tangan kirinya terdapat sebungkus makanan ringan, yang sepertinya sudah ia nikmati sejak tadi di sepanjang perjalanannya menuju ruangan ini.

"Pagi," sahut Zalina tak terlalu kencang.

Perempuan dengan rambut sebahunya itu, menatap ke arah Zalina. Ia sedikit terkejut dengan kehadiran seseorang yang sebelumnya belum pernah dirinya lihat di tempat itu. Dilanjutkannya langkah yang sempat tertunda. Mendekati meja Zalina yang tepat berada di samping mejanya sendiri. Ia mengulurkan tangan, lantas memasang senyum ramah di wajahnya.

"Hai. Karyawan baru, ya? Kenalin, gue Pritiw." Perempuan gempal itu memperkenalkan dirinya. Lengannya masih terulur ke depan.

Zalina gegas membalas uluran tangan itu. Menjabat lengan perempuan di depannya. "Halo. Iya. Aku Zalina, baru masuk hari ini." Ia tersenyum tak kalah ramah.

Jabatan tangan itu terlepas. Sungguh risau dan penuh perdebatan.

"Oke. Semoga betah, ya, di sini." Pritiw beranjak dari tempatnya, berjalan memutari meja Zalina, lantas duduk di kursinya sendiri.

Pandangan Zalina mengikuti pergerakan perempuan yang baru dikenalnya itu. Perempuan itu tampak mencondongkan tubuh ke arahnya, lantas berbisik, "Soalnya bos di sini galak," ujar Pritiw, melanjutkan ucapannya tadi. Ia terkekeh pelan.

Zalina mengangkat sebelah alisnya. Sedikit bingung. Namun, akhirnya ia ikut terkekeh menanggapi perkataan Pritiw.

Perempuan gempal itu melepas tas ransel yang berada di punggungnya. Diletakkannya di atas meja kerja. Ia mengeluarkan sebungkus camilan baru. Sebab snacknya yang barusan sudah habis dan plastiknya sudah ia buang ke tong sampah di samping kursinya.

"Mau?" tanya Pritiw, menawarkan sebungkus makanan ringan miliknya.

Zalina yang sejak tadi memperhatikan, hanya menggeleng pelan sembari tersenyum.

"Okey." Pritiw membalas senyum Zalina. Ia lalu kembali menghadap ke depan. Membuka bungkusan camilan miliknya, kemudian mulai sibuk dengan dunianya sendiri.

Sementara Zalina, perempuan berhijab biru denim itu mengeluarkan sebuah buku novel. Memutuskan untuk tenggelam dalam huruf-huruf itu, selama menunggu waktu kerjanya tiba.

*

Kesempatan selalu ada; dia terbang tinggi dan turun ke sebuah kafe; menceritakan tentang bagaimana bahwa dunia tanpa bisnis adalah siksaan paling dahsyat yang dialami para CEO. Tentang bagaimana setiap orang memiliki cita rasa yang berbeda, selalu ada kecerobohan dan sentimental berbentuk hati terbelah. Selalu ada percakapan dan Zalina hanya perlu sebuah visi dengan misi yang bijak. Ada banyak orang bertanya-tanya; apakah wanita itu benar-benar sudah meninggalkan masa-masa buruk yang tersimpan masih menjadi misteri. Pertanyaannya; apakah wanita itu sudah siap bekerja di perusahaan Arlo dan yang menjadi bagian dari sekutu-sekutu bisnis yang teramat keras.

Sekarang, tiga puluh menit berselang sejak Zalina datang pagi ini ke kantor barunya untuk bekerja. Ruangan itu kini sudah mulai banyak orang. Kursi-kursi yang semula kosong, kini mulai ditempati pemiliknya. Namun, suasana hening pagi tadi kembali berlangsung. Sebab orang-orang di ruangan ini sudah mulai fokus dengan laptopnya masing-masing.

Zalina kebingungan sebenarnya. Ia tak tahu apa yang harus dikerjakannya sekarang. Seseorang belum memberi tahu apa tugasnya hari ini. Entah dirinya harus bertanya lebih dulu, atau bagaimana. Namun, pada siapa ia harus bertanya? Sedang orang yang dikenalnya di sini baru Pritiw saja. Haruskah ia bertanya pada perempuan gempal itu?

Diliriknya Pritiw yang duduk di kursi sampingnya. Namun, sepertinya perempuan itu tengah fokus dengan pekerjaannya. Baiklah, Zalina akan menunggu saja.

"Permisi."

Pintu terbuka, membuat seluruh perhatian di ruangan tersebut teralihkan. Tampak seorang lelaki kurus dengan kemeja batik dan celana bahan berwarna hitam. Ia memutar pandangan ke banyak pasang mata di dalam sana.

"Di sini ono sik jenenge Zalina?" Lelaki itu bertanya kepada seluruh orang di ruangan.

Tak ada yang tahu, kecuali Pritiw dan si pemilik nama itu sendiri. Namun, Pritiw tak menjawab. Ia menoleh ke arah Zalina, sementara perempuan yang dimaksud itu langsung menyahut beberapa detik setelahnya.

"Saya." Ia mengangkat tangan kanan, memberitahukan letak duduknya di ruangan itu.

"Jenengan dipanggil Pak Arlo di ruangannya."

"Ohh, oke. Makasih informasinya." Zalina menyahut, tersenyum.

"Yo wes. Saya duluan, nggeh. Permisi."

Lelaki berkemeja batik beranjak, usai kembali menutup pintu. Sedang Zalina ikut berdiri dari duduknya, lantas mulai berjalan menuju kantor Arlo.

"Pak Arlo? HRD yang kemarin interview, 'kan?" gumam perempuan itu pada dirinya sendiri. Ia mengedikkan bahu, lantas kembali terdiam seraya melanjutkan langkahnya mendekati pintu di ujung lorong.

Tok, tok, tok.

Zalina mengetuk pintu tersebut. Tak berapa lama, terdengar sahutan dari dalam. "Masuk."

Tanpa menunggu lama, perempuan itu membuka pintu tersebut. Ia berucap, "Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam," sahut Arlo masih fokus pada laptopnya. "Duduk," titahnya kemudian, setelah Zalina tiba di depannya.

Setelah melihat karyawan barunya itu duduk, akhirnya Arlo meraih setumpuk kertas di samping laptopnya. Digeserkannya kertas-kertas itu, mendekat lebih ke arah Zalina. Sementara perempuan tersebut memasang senyum di bibirnya, seolah tahu bahwa ini merupakan tugas pertama yang akan dikerjakannya.

"Ini, tugas pertama kamu. Silakan kamu kumpulkan data-data dari kertas-kertas ini dalam satu file." Arlo menunjuk tumpukan kertas di depan Zalina dengan lirikan mata. Ia lantas melihat jam hitam yang melingkar di tangan kirinya. "Saya tunggu sebelum waktu Asar."

Yap. Benar sekali. Sama seperti apa yang ada pikiran Zalina. Namun, tetap saja. Perempuan itu tersentak. Dalam hatinya ia sedikit kesal, sebab diberikan tugas setumpuk dalam waktu yang tidak sampai satu hari pun. Diliriknya kertas-kertas itu. Bisa diperkirakan, jumlahnya lebih dari 300 helai.

Perempuan berhijab itu hendak melayangkan protes, tetapi ia kembali bungkam, sebab sang atasan kembali mengeluarkan suara.

"Tidak ada penolakan atau penawaran. Silakan, kamu bisa keluar sekarang dan kerjakan tugasmu," tegas Arlo, dengan fokus yang kembali pada komputer pribadinya.

Hela napas terdengar dari bibir tipis Zalina, di tengah heningnya ruangan pria itu. Namun, Arlo terlihat tak peduli sampai Zalina berdiri dan mulai beranjak pergi dari tempat itu, tanpa berkata apa-apa.

"Satu lagi. Harus rapi. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun." Arlo kembali berbicara, membuat Zalina yang sudah hendak mencapai pintu kembali berbalik ke arahnya.

"Ah, iya. Kamu orang yang tak suka buang-buang waktu, 'kan? Jadi diusahakan jangan sampai ada revisi, karena itu bisa mengganggu efektivitas waktu dan kinerja kamu." Pria itu melanjutkan ucapannya, tanpa menatap Zalina sama sekali. Ia masih tetap fokus, seolah sedang mengajak bicara benda berlayar datar di hadapannya.

Perempuan itu terdiam sejenak. Ia lalu membalas, "Baik. Terima kasih, Pak. Assalamu'alaikum," ujarnya. Kemudian benar-benar beranjak dari ruangan itu dan kembali ke tempat kerjanya semula.

*

Tabayyun CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang