Yang patah dan tumbuh

1 0 0
                                    

Yang patah dan tumbuh, akan kah kita terus seperti itu? Gue enggak tau di bagian happy yang mana, yang membuat ku memilih untuk tetap lahir kedunia ini, dan menjadi bagian dari keluarga yang banyak menyimpan luka ini.

Malam ini terasa hampa dan kosong, entahlah, mungkin karena kejadian beberapa hari yang lalu, serta memikirkan banyak hal belakangan ini yang pada akhirnya membuat gue membenci hidup ini, dan juga kepikiran kata-kata mama beberapa hari yang lalu.

"Kirana, enggak usah kuliah kasian mas Iyan, enggak nikah-nikah nanti."

"Kalo mau kuliah, coba yang kuliah gratis itu aja."

Kenapa semuanya harus berenang di kepala? Gue enggak suka kaya gini, tapi gue seperti orang yang sedang mencintai keadaan yang selalu membuat gue membenci semuanya, termasuk bapak. Suara kendaraan di jalan raya seperti menggambarkan betapa berisiknya kepala ini, demi apapun gue benci ini.

Gue dari tadi sibuk nonton two kids room punya K-Pop grub kesayangan gue stray kids, hanya untuk mendistrak keadaan ini dan membiarkannya begitu saja.

Baru juga mulai Lee Know selaku Mc two kids room sibuk dengan snack di tangannya, dan lihat Han Jisung lucu sekali malah bikin gerakan mendayung bersama, udah gitu mana ngegas lagi, ada-ada aja deh.

"Hahaha, lucu banget sie mereka." Ucap ku sambil ketawa hambar.

Gue terus ketawa sepanjang nonton two kids room, karena mereka beneran ada-ada aja tingkahnya.

Setelah itu gue liat-liat video yang lain, dan gue milih buat nonton MV back door, gila disitu Hyunjin keren banget lagi di tengah arena balap gitu, dan gue selalu suka scane itu.

Kemudia gue sudahi dan matiin laptop gue, tetap saja rasanya masih hampa dan kosong, keadaan ini benar-benar membuat gue membenci semuanya.

"Terlalu banyak hal yang rumit ternyata."

Gue tiduran sambil terus menatap kearah langit-langit kamar.

Rasanya beneran sehampa itu, gue selalu berharap untuk mati rasa agar tidak perlu memikirkan hal-hal itu dan membiarkannya terus terjadi. 

***
"Ran, udah dong!" Seru Jarrel, kemudian kembali melanjutkan ucapannya "lo, itu kenapa lagi sih?" Tanyanya, karena melihat gue yang memilih untuk lebih banyak diam.
"Gapapa, gue baik-baik aja." Jawab gue, karena memang tidak memiliki jawaban  lain, selain gapapa.
"Bohong, Kirana belakangan ini you don't look fine."
"Gapapa, lagi pengen diem aja."
"Bohong terus, mana chat gue udah seminggu enggak lo bales."
"Oh itu, gue mau bales tapi lupa El."

Sedari tadi Jarrel duduk di lantai kamar gue, sementara gue. Entahlah apa yang sebenernya sedang gue rasakan, tapi gue rasa Jarrel ke sini karena chatnya yang gue anggurin selama seminggu lebih.

"Mana ada, kata Jidan lo belakangan ini sering nangis."
"Jidan, di dengerin, bohong itu adek lo!" Ngegas gue.

Karena sejujurnya gue lagi enggak pengen bahas apapun, termasuk permasalahan hidup gue yang begitu-gitu aja.

"Iya, oke! Kalo enggak mau cerita, gapapa. Tapi minimal kasih tau gue kalo lo lagi enggak baik-baik aja, please stop feel alone."
"Iya, gue lagi enggak baik-baik aja." Ucap gue, seperti ada sesuatu yang mengganjal, "gue benci semuanya, termasuk hidup ini." Lanjut gue, dan gue tau Jarrel enggak suka akan hal itu.

Sama seperti Bayu, dia juga enggak suka kalo gue bilang hal yang sama, bakal marah banget, kaya manusia tidak beragama dan berpayung Tuhan yang baik, begitu katanya.

"Semuanya aja lo benci, enggak capek apa?"
"Menurut lo aja, gimana?" Terdengar kali ini nafas gue sesak, "kalo cuma mau menciptakan keributan yang lain lebih baik lo keluar dari kamar gue deh!" Lanjut gue, karena jujur lagi enggak mau ribut, gue lagi enggak ada energi, bahkan untuk ribut sekali pun.

***

Kalo lagi kaya gini, ada rasa mau menghubungi Bayu, karena dia satu-satunya orang yang akan bilang bahwa semuanya baik-baik aja, tapi sejak saat itu gue tau kita sudah cukup jauh, bahkan hanya untuk menyapa.

Gue memutuskan untuk menelpon Winda, karena dia satu-satunya orang yang selalu ada buat gue. Kalo Sarah jangan di tanya dia sibuk kuliah, maklum kedokteran.

"Halo, Winda."
"Iya, kenapa lo, lagi ada masalah apa?"
"Tadi Jarrel kesini, tapi gue usir."
"Udah tau, tadi cowok gue cerita."
"Dasar bucin, tapi temboknya tinggi dan ketinggian."
"Mulai deh mulai!" Seru Winda di sebrang sana, "terus gimana lagi lanjutannya?" Tanyanya.
"Enggak ada lanjutannya."
"Iya udah, sekarang lo tenangin diri lo dulu."
"Iya."
"Kalo deket udah gue peluk lo."
"Salah sendiri kuliah jauh!" Seru gue dengan sedikit emosi.
"Besok gue balik kita harus pelukan yang lama, oke?"
"Iya harus."
"Udah dulu ya, Ran gue mau ke rumah nenek dulu."
"Okedeh, hati-hati di jalan ya..."

***

"Kak, lo kenapa sie?!" Tanya Jidan heran.
"Gapapa, biasa masalah orang dewasa. Anak kecil di larang ikut campur." Ucap gue sambil menatap kedepan dengan pandangan kosong.

Gue cuma enggak mau orang rumah tau apa yang gue rasain, gue lebih suka memendam semuanya sendirian. Perasaan sepi, hampa, dan kosong ini biar gue rasain sendiri, iya sendirian.

"Yakin? Lo beda banget tau belakangan ini." Jidan masih menatap gue heran.
"Bukannya, biasanya juga gini ya?"
"Gini yang gimana kak? Lo keliatan kaya orang yang berbeda."
"Gue, gapapa Jidan."
"Bohong! Ini pasti, gara-gara kejadian kemarin kan?" Tanya nya, yang masih setia duduk di tepi kasur. "Gara-gara bapak kan?" Lanjutnya bertanya.
"Enggak, gue, gapapa." Ucap gue terus meyakini Jidan.
"Kak!" Seru Jidan, "gue tau ya? Lo pikir gue enggak marah apa ka?" Lanjutnya, gue bahkan dapat melihat Jidan mulai emosi.
"Jidan, udah cukup!" Seru ku, "Kalo marah, mama lebih marah. Bahkan di sertai banyaknya rasa penyesalan." Lanjut ku, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Jidan hanya diam, gue tahu, dia mungkin belum cukup untuk mengerti semuanya. Tentang yang terjadi kemarin adalah hal paling nyakitin, bukan hanya terjadi sekali, mungkin lebih dari sekali, dari jaman gue SMK sampai sekarang gue udah lulus.

Sayang, bapak hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di balik emosinya.

Bahkan gue tau bapak juga memiliki masalahnya sendiri, mungkin dirinya adalah sebuah gambaran kegagalan yang nyata, bahkan mama selalu berharap dirinya bisa berpisah dengan bapak.

"Kak, mungkin lo bener, kita semua marah."
"Gue membencinya seumur hidup gue."
"Kak? Dia tetap seorang bapak, dan juga manusia biasa."
"I know, terlepas dari perannya, bapak adalah manusia biasa yang hidup bersama penyesalan-penyesalannya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MarathonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang