S E M B I L A N : Mimpi yang Pupus

123 23 9
                                    

Detik demi detik, tahun berganti tahun. Nunew senantiasa menunggu Zee untuk pulang. Selepas kepergian sang kekasih, tak banyak yang berubah. Sebab ia masih suka berkunjung ke cafe— memeasan kopi aren beserta camilan yang sama. Kemudian kala malam, ia akan makan di soto Mamang Cecep. Mengelilingi Bandung, walau sendirian, membeli martabak dekat pertigaan.

"Nu, hari ini pulang naik apa kamu?"

Di hadapannya berdiri sosok manis. Namanya James. Kalau di telaah lebih jauh, seluruh Insan di dunia pasti jatuh pada pesonanya. Surai coklat begitu lembut kala tersapu angin, dua bola mata bulat penuh harapan akan suka cita, belah bibir peach mengkilap.

"Naik motor," ujar Nunew, kembali merapihkan berkas.

Saat ini, ia tengah mengeluti profesi sebagai wartawan. Berlari-lari hanya untuk seutas kalimat picisan. Tapi ia senang, sebab menurutnya bekerja di lapangan lebih mengasyikan dari pada berkutat dalam ruang sempit.

"Hari ini dia akan pulang? Kemarin kau bercerita begitu."

"Bukan hari ini, tapi esok."

James mengangguk-angguk, setelah berujar, "maaf, aku sedikit pikun akhir-akhir ini— oh ya, aku harus segera pergi. Net sudah menunggu di depan, aku duluan ya!"

Nunew merapihkan berkas-berkasnya, memasukkan alat elektronik ke dalam ransel, setelahnya berpamitan kepada kepala kebersihan yang tengah melakukan pekerjaannya.

Kedua tungkainya telah sampai pada lahan parkir, setelahnya ia singgahkan diri pada beat putih di bawah rindangnya pohon, menyalahkan mesih dengan kunci di genggamannya, setelahnya membelah kepadatan kota Pasundan dengan roda dua itu.

Terhitung sudah satu bulan Nunew memberhentikan beat putihnya di sebuah toko bunga. Menaruh helm pada spion, lalu mengguratkan senyum kala netranya beradu pandang dengan pemilik toko.

"Nu, mau beli apa lagi? Bukan kah, kemarin kamu baru saja membeli bunga?"

Selepas kepergian Zee. Nunew mendapatkan banyak teman, maklum selama bersama Zee dirinya tak diperbolehkan dekat dengan orang lain. Lebih tepatnya, Zee selalu saja mengikutinya, kalau diibaratkan Nunew suart dan Zee adalah perangko.

"Aku hanya mau bantu kamu. Omong-omong kemarin ramai pengunjung, Yim?"

"Tidak begitu ramai, tapi mampu membuatku pulang lebih larut," Yim berdecak sebal, mengingat dirinya harus pulang larut untuk merapihkan toko bunganya.

"Harusnya kau bilang padaku," celetuk Nunew, menangkup sekelopak bunga berwarna ungu.

"Untuk apa? Kau juga memiliki pekerjaan dan tak mungkin jika tiba-tiba aku meminta bantuanmu."

Toko bunga Yim tak begitu besar, Namun, mampu memanjakan indera penglihatan. Tiap bunga tersusun rapih sesuai jenisnya, aroma menangkan dari beberapa bunga pun menari mengikuti aluna angin.

"Itu tidak masalah."

"Bagimu, tapi tidak bagiku. Jadi lebih baik kau pulang, setelah itu bersistirahat untuk esok. Aku tahu pria simpananmu besok akan pulang."

"Hey! Dia bukan simpanan," ujar Nunew.

Yim alungkan tawa, kedua tangannya terulur mendorong bahu Nunew, memaksa lelaki itu untuk pergi dari tokonya. Bukan tidak suka, hanya saja Yim tahu diri temannya baru saja selesai bekerja.

"Sudah sana pulang, lalu beristirahat. Dan jangan lupa esok kamu harus menemuiku."

Decak melewati belah bibir Nunew, dengan raut kesal ia menaikan diri ke atas beat putihnya, menyalahkan mesin, dan melalang buana di kepadatan jalan.

"Anak itu, masih saja seperti anak-anak. Kalau bukan teman, mungkin sudah aku buang ke tong sampah," ujar Yim, menggeleng-gelengkan kepalanya.

➖➖➖

Hari yang Nunew nanti akhirnya tiba. Penantian panjangnya akan berakhir dengan suka cita berkepanjang. Segurat senyum terukir takala alaram kamar berdering begitu nyaring, dirinya langsung terbangun tanpa menunggu lima menit atau sepeluh menit, rautnya begitu sumringah, Nunew menuruni ranjang tanpa merapihkannya, kemudian berlari menyambar handuk yang tergantung, setelahnya memulai ritual mandinya.

Selepas mandi, ia bergegas mencari pakaian senada. Bahkan lemari yang senantiasa rapih, kini acak-acakan hanya karena Nunew bingung akan memakai apa. Pada akhirnya, ia jatuhkan pilihan pada baju putih, rompi hitam, dan celana bahan senada dengan rompi.

"Bunda, Ayah. Hari ini Zee pulang!" seru Nunew begitu gembira.

Pemuda menuruni anak tangga, bergabung bersama kedua orangtuanya yang tengah menonton tivi di ruang tamu.

"Sini duduk, Bunda buat rujak."

Nunew mengikuti titah Bunda. Menyinggahkan diri di bawah sofa, mencomot nanas, setelahnya menyocolkan ke dalam sambal di ulekan.

"Pemirsah, terjadi kecelakaan pesawat Elangna, tujuan Canada menuju Indonesia di laut Jakarta. Diketahui seluruh penumpang beserta kru tewas akibat tenggelam."

Pemuda geming, nanas di balutan tangannya terjatuh menghantam lantai, air mata berderai tak berkesudah, telingannya berdengung. Sesak memenuhi diri, belah bibirnya begitu keluh, saliva seakan sulit untuk dirinya telan.

"Bun," susah payah ia suarakan nama Bunda, menolehkan wajah hanya untuk menuntut penjelasan. "Itu bukan pesawat Zee kan?"

"Kita ke rumah sakit ya? Kita lihat itu pesawat Zee atau bukan," ujar Bunda, membubuhkan usapan pada Nunew.

"Bun, bagaimana kalau itu pesawat Zee? Nunew belum siap untuk kehilangan dia, Bun."

Bunda dekap tubuh Nunew, mengutarakan jutaan kata penenang, sembari mengusap-usap bahu bergetar sang anak.

"Nu, belum siap," lirih Nunew.

Ayah mengela napas, "kita belum tahu, Nu."

"Tapi semalam Zee bilang dia menggunakan pesawat itu," ujar Nunew, menunjuk tivi dengan jemari telunjuknya.

"Ayah! Kalau nggak bisa menenangkan, setidaknya ambilkan minum," timpal Bunda.

"Kenapa harus ambil minum?"

"Bunda kepedesan. Sudah sana ambil, kok malah tanya-tanya?!"

Ayah bergegas pergi, sebelum titan— alias Bunda mengamuk. Cukup satu kali ia merasakan pukulan menyakitkan dari Bunda, hanya karena menghabiskan bakwan buatannya.

"Jangan dengarkan Ayah ya?"

"Bun, Zee berjanji akan pulang untuk merayakan hari anniversary kami. Mengapa takdir jahat sekali, Bunda? Apa salah Nunew pada takdir? Mengapa ia tega merenggut salah satu kebahagiaan Nunew..."

END
Tapi bohong <3

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang