2. Gadis di Waktu Duha

140 13 1
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Februari, 8 tahun silam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Februari, 8 tahun silam ....

Matahari mengintip malu-malu dari ufuk Timur. Cahayanya menerangi apa pun yang berada di bawahnya. Seperti biasa, suara ayam berkokok dan kicauan burung-burung menyambut pagi indahku.

Setelah menyiapkan segala keperluan sekolah dan mengenakan seragam SMP, aku duduk di bangku depan rumah sambil mengayunkan kedua kaki. Zidan dan Yasmine adalah orang yang aku tunggu. Saudara kembar itu memang selalu berangkat bersamaku setiap harinya.

Aku sedang memeriksa tugas Matematika yang akan dikumpulkan hari ini saat Bapak keluar dari rumah.

"Belum berangkat, Fah?" tanyanya basa-basi seraya memakai sandal. Pakaian yang dikenakannya berupa baju lusuh. Selalu. Ditambah topi bundar kebesarannya dengan tali yang melingkari sisi-sisi wajah sebelah kanan menyambung ke sebelah kiri.

"Nunggu Zidan sama Yasmine, Pak. Bapak mau ke pasar, ya?" Aku menutup buku tugas Matematika, memasukannya ke dalam tas selempang army.

"Ya, seperti yang kamu lihat. Hari ini Bapak jualan tahu dua kali lipat," balasnya, mengangkat dua kresek besar yang dipegang. Ia beringsut mendekati sepeda, kemudian menyampirkan kresek-kresek itu di besi belakang. "Kalau Bapak sampai kesiangan, rezekinya nanti dipatuk ayam," tambahnya tersenyum.

Aku ikut tersenyum.

Sudah hal yang lumrah istilah rezeki dipatuk ayam ini dipakai. Ini menggambarkan rezeki telat didapat karena sudah dipatok ayam yang bangun dan berkokok duluan.

"Pak, ini ketinggalan." Ibu mendadak muncul, mendekati Bapak, lalu menyampirkan handuk kecil yang biasa dipakai untuk menyeka keringat itu di antara kedua pundaknya.

Bapak mencium kening Ibu, menatap istrinya itu mesra.

"Makasih, Bu," ucapnya tulus yang dibuahi anggukan oleh Ibu.

Ibu mencium tangan Bapak. Aku yang sedari tadi memperhatikan, ikut mendekat dan mencium tangan lelaki paruh baya tersebut.

Bapak menurunkan stater sepeda, pamitan. Sebelum akhirnya menaiki kendaraan sederhana roda dua itu dan melesat meninggalkanku dan Ibu yang masih ada di pekarangan.

Aku mendesah pelan menatap jalanan yang masih tak menampakkan sosok Yasmine dan Zidan.

"Kalau begitu Fah juga pamit, ya, Bu. Kayaknya Yasmine sama Zidan udah duluan ke sekolah." Aku menyalami ibu. "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati, Fah," kata Ibu berpesan.

Aku mengiyakan. Tanpa menunggu waktu lama, aku bergegas menuju halte yang jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah.

***

Aku melihat jam yang melingkari pergelangan tangan, melongok ke sana-kemari. Kuketukkan kaki ke pijakan trotoar. Berharap metromini datang lebih cepat.

Orang-orang di sekitar pun melakukan demikian. Bukan hanya kalangan anak sekolah, tetapi ada pula kalangan orang kantoran atau pabrik.

Kutolehkan kepala sekali lagi. Jalanan tidak lengang dan tak pula ramai. Hanya ada beberapa kendaraan yang masih berseliweran bisa dihitung jemari.

Pandangan ini terpusat pada seorang gadis berjilbab, berseragam putih abu yang sejak tadi serius membaca sebuah buku. Gadis itu duduk di sudut halte. Wajahnya dengan pipi kemerah-merahan sesekali terlihat sedih, tak jarang pula mengulas senyum, membuatku penasaran buku apa yang sedang dibaca.

Tak lama bus datang. Kami memasukinya dan mengambil tempat duduk masing-masing.

Aku duduk di deretan bangku kedua dari depan. Posisiku tepat di samping jendela.

Saat aku sedang menyandarkan punggung ke kursi penumpang, memejamkan mata sejenak mengingat hafalan-hafalanku, aku dikejutkan suara seseorang berbicara hingga membuatku menoleh.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?" tanya gadis tadi.

Aku tak langsung menjawab. Melihat ke deretan bangku yang ada di depan dan belakang. Setelah memastikan semua kursi penuh dan hanya menyisakan kursi kosong di sampingku, aku mengangguk pertanda mengiyakan.

Gadis tersebut duduk di sampingku. Kembali menenggelamkan dirinya pada buku bacaannya.

Bus pun melaju.

Aku diam-diam melirik sekilas ke arah gadis tersebut. Melihat buku apa yang tengah dibaca. Tertera di bagian atas bacaan dengan judul Biografi Sayyidatina Khadijah Radhiyallahu Anh'.

Ummul Mukminin Khadijah adalah sosok wanita yang luar biasa, cantik, cerdas, kaya, tawadu, dan selalu memberi rasa cinta dan kasih sayang. Beliau adalah istri pertama dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang membantu dengan jiwa, harta, ketabahan perjuangan islam.

Khadijah binti Khuwailid lahir di Mekkah tahun 63 sebelum hijriyah. Ayahnya Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusoi. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah di kakek ke-empat yaitu Qusoi bin Qilab.

Kecantikan, kecerdasan, kehormatan, dan budi pekertinya dikenal luas di kalangan Quraisy hingga mereka menjulukinya Ratu Mekkah. Julukan lainnya ialah Ath-thahirah atau wanita suci karena tidak pernah menyembah berhala dan mengikuti alur hidup ala jaman jahiliyah.

Sejarah mencatat Khadijah adalah salah satu dari ke-empat wanita terbaik, baik itu di dunia mau pun di akhirat kelak. Wanita yang mendapat salam dari Allah dan malaikat jibril. Wanita yang telah Allah buatkan rumah di surga berbahan dasar mutiara. Rumah yang di dalamnya tidak ada kegaduhan, kecapekan, dan tidak ada teriakan.

Wanita yang diakhir hayatnya hanya meminta selembar sorban Nabi untuk dijadikan kain kafannya. Bahkan di suatu hari jauh sebelum wafatnya beliau mengatakan, "Wahai rasul utusan Allah, tiada lagi harta dan lainnya yang bersamaku untuk aku sumbangkan demi dakwahmu. Andai selepas kematianku tulang-tulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka gunakanlah tulang-tulangku demi kepentingan dakwah panjang ini."

Gadis itu merafalkan sesuatu, membuatku tersenyum dalam diam.

"Allahumma antas-salam, waminkas-salam, wa ilaika ya'udus-salam, fahayyina rabbana bissalam, wa adkhilna jannata darassalam, ta barakta rabbana wa ta'aalaita ya dzal jalali wal ikram,"

Sepertinya, di waktu Duha ini ada rasa kagum yang timbul dalam diriku. Bukan tentang seberapa cantik gadis itu, tetapi kagum karena sikapnya yang mengagumi At-Thahirah tersebut.

Di sepanjang perjalanan, sebisa mungkin aku tak berusaha mengajak kakak tingkatku yang berbeda sekolah itu mengobrol. Biar kusimpan rasa kagum ini sendiri. Cukup antara hatiku dan Allah yang tahu.

 Cukup antara hatiku dan Allah yang tahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ig: @Bradyguann.
15 Rabi'ul-Akhir 1441H.

Jazakumullahu Khair.

Duha: Hati yang Merindu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang