CURIGA

116 18 5
                                    

Meskipun mereka sampai di rumah menjelang Isya, tapi hal itu tak menyurutkan Fida untuk berkegiatan. Mentari masih lelap di peraduan. Suasana masih gulita dan hampir hening, hanya terdengar lantunan bacaan ayat-ayat suci dari pengeras suara musala dan masjid. Sebelum menuju dapur, penunjuk waktu di ruang tengah menunjukkan angka empat kurang beberapa puluh menit. Perempuan yang sejatinya masih merasa sedikit kelelahan itu telah berdiri di depan kitchen sink dengan sepanci beras. Sengaja, dia ingin memasak untuk suami tercinta.

Seminggu pertama sejak menikah, dia memang tak terlalu banyak ikut campur urusan masak-memasak. Semua, Mak Ti yang mengerjakan. Pun membersihkan rumah, hanya menyapu ringan saja. Alasan di belakang semua adalah kelelahan dan banyaknya hal yang harus dikerjakan. Tapi kali ini, sepertinya semua sudah berjalan normal. Meski semalam tidur cukup larut karena sibuk membagi-bagi ikan yang setelahnya diantar ke ndalem Bu Nyai dan kedua kakaknya, tapi … empat hari liburan yang menyenangkan, menyisakan selaksa energi yang luar biasa. Apalagi, kemarin malam Hilmy bersikap manis ketika mereka menikmati ikan bakar di tepi pantai. Sepertinya, sang suami sudah tak marah.

Beberapa kilo ikan segar yang tersisa, oleh-oleh dari Pulau Gili kemarin, sungguh sayang kalau tak segera diolah, minimal untuk sarapan pagi ini. Sementara sisanya ... Fida bisa meminta tolong kepada Mak Ti nanti untuk menggarapnya bersama.

Gemericik air kran dini hari, terasa bagai lantunan merdu di telinga Fida. Memasak sembari mendengarkan musik romantis soundtrack drama korea, sepertinya akan menyenangkan, asal tidak terlalu nyaring mengatur volume.

Setelah meletakkan beras yang usai dicuci ke panci penanak, Fida segera kembali ke kamar untuk mengambil ponsel. Hilmy masih tidur pulas. Sepertinya, dia cukup lelah mengemudi lebih dari dua jam semalam. Fida tersenyum menatap suaminya, lantas mengambil ponsel dan segera kembali lagi ke dapur, setelah menutup pintu perlahan.

Di dapur, dia menyalakan aplikasi pemutar lagu daring. Lantas, mengeluarkan sebungkus cumi-cumi beku dari freezer. Pastinya, cumi-cumi ini akan mengeluarkan banyak tinta ketika dimasak nanti. Cumi-cumi segara, jarang ditemukan di Surabaya. Sementra sayur dan pelengkap lain, biar Mak Ti yang mengerjakan.

Memang Fida tak selalu membantu memasak di dapur saat belum menikah, tapi kalau hanya memasak cumi hitam, bukan hal sulit. Pun begitu, berbagai masakan khas Arab, Fida memang lumayan jago, selain masakan ala Korea yang baru dipelajarinya beberapa waktu belakangan. Efek dari seringnya menonton drama Korea.

Fida mulai mengolah membersihkan cumi-cumi, lantas menyiapkan bumbu. Suasana dini hari terasa begitu menyenangkan. Membayangkan berbagai cerita romantis drama yang pernah ditonton. Sisi romantis dan sedikit nakal yang tersembunyi. Sebelumnya, mana berani dia terang-terangan tentang kesukaannya menonton dan membaca kisah-kisah romantis. Apalagi, sampai berani memutar lagu berbahasa asing—kecuali Bahasa Arab—tanpa ear plug. Bisa-bisa ceramah panjang lebar akan menjadi pengisi hari.

Suara langkah kaki mendekat, membuat Fida yang tengah asyik di depan meja dapur, menoleh seketika. Hilmy melangkah melewati ambang pintu dapur. Masih dengan kimono tidurnya.

"Kamu … memasak?" tanya Hilmy dengan suara serak dan terdengar keheranan.

Fida mengernyit dan mengangkat sebelah alis. "Lah, emang Kak Hilmy pikir aku nggak bisa masak?" Dia pun menggeleng pelan lantas berbalik dan meneruskan kegiatannya.

Detik kemudian, Hilmy sudah berdiri di sampingnya, memanjangkan leher, melongok ke wadah berisi cumi-cumi. "Wah, cumi segar?"

"Yups. Kita akan makan cumi hitam. Nanti, urusan sayur, biar Mak Ti. Jadi, aku ada waktu bebersih ruang tamu dan Mak Ti bisa bantuin bebersih dapur dan teras samping."

Setelah menyelesaikan urusan bumbu dan cumi-cumi, Fida membuatkan suaminya kopi. Sementara Hilmy sudah berlalu ke kamar mandi.

Tak hanya pagi itu Fida memasak dan mengurus rumah dengan baik, pagi-pagi berikutnya pun dilakukan dengan cara serupa. Yang jelas tanpa mbak dalem, seperti kemauan Hilmy. Bahkan, ketika mereka sudah harus kembali berkegiatan rutin sebagai pengajar di MTs dan MA pagi Al Munawir.

Hari pertama berkegiatan sebagai pengajar, mirip seperti ketika mengurus perpanjangan cuti kepada pihak TU. Banyak rekan-rekan pengajar yang memberi selamat. Bedanya, Hilmy langsung menuju kantor pengajar lelaki yang berada di kompleks gedung sekolah putra. Sementara Fida menuju kantor para pengajar perempuan.

Usai beramah-tamah dengan sesama rekan pengajar, Fida segera menuju meja kerjanya, meletakkan tas dan buku-bukunya. Lantas, duduk sembari mengobrol dengan seorang guru yang mejanya bersebelahan dengannya. Sejak masuk ruangan, dia tak henti mencari-cari dua sosok perempuan yang sangat ingin dia temui, Nayla dan Adeeva. Tapi, hingga beberapa menit menunggu, kedua sosok itu belum juga muncul.

Fida masih asyik mengobrol tentang pengalamannya berlibur ke Bromo dan Pulau Gili ketika terdengar ucapan salam yang sangat familier. Cepat-cepat dia menoleh ke sumber suara. Nayla melangkah masuk ruangan. Tapi, dia hanya sendiri. Bukankah biasanya dia bersama Adeeva karena mereka tinggal bersama?

"Loh, Bu Nayla kok sendirian?" tak sabar, Fida bertanya seraya beranjak dan menghampiri kawan dekatnya itu, "Neng Adeeva mana, loh? Sakit lagi?"

Naila menggeleng dan menghentikan langkah sejenak. Lantas, mendaratkan tangan ke lengan Fida. "Kita ngobrol sambil duduk, yuk?"

Fida mengangguk, menatap Nayla penuh tanya. Dia mengikuti arahan kawannya itu.

Nayla duduk pada kursinya. Sementara Fida pada kursi kosong di sebelah meja perempuan berkacamata itu. Karena meja kerja mereka kebetulan tidak bersebelahan.

Satu tarikan napas dalam mengawali kalimat Nayla. "Jadi, Adeeva hari ini sampai entah kapan, bakal nggak masuk, Neng. Dia … mau pulang ke Probolinggo."

"Pulang ke Probolinggo? Kok, tiba-tiba banget? Bukannya … ujian akhir sekolah sore hampir, ya?" Dua garis sejajar tercetak jelas di antara dua alis Fida.

"Nah, itulah alasannya beberapa hari terakhir jadi sibuk nggak ketulungan. Dia menyelesaikan semua secepat mungkin." Nayla kembali menghela napas dalam. Kali ini, semakin jelas tampak sirat kecemasan pada wajahnya. "Jujur aja, Neng, aku ngerasa, kok, kayak nggak kenal Adeeva, ya? Dia berubah banget. Kupikir, semua karena kematian putrinya. Tapi, kayaknya bukan, deh."

"Maksudnya, nggak kenal gimana, sih, Bu?" Fida menggeser posisi, menarik kursi dan mendekatkan diri pada Nayla. "Bukannya kalian itu udah sohiban sejak kuliah?"

"Nah, itulah. Kalau orang lain, pasti nggak akan ngeh. Dia itu lebih tertutup sejak balik lagi ke sini. Dulu, kami temen deket banget. Dia sering curhat apa aja. Tapi, sekarang udah nggak. Sejak dia pindah ke sini udah berubah banget." Nayla berdecak dan menjatuhkan pandangan ke lantai.

"Iya juga, sih. Aku kenal dia, kan, baru setahunan lebih ini, ya? Aku nggak tahu bagaimana dia dulu." Kedua bahu Fida terangkat.

"Nah, itulah. Aku itu curiga—"

Bel sekolah memotong percakapan keduanya. Mau tidak mau, keduanya beranjak dan melangkah ke luar kantor sekolah untuk melaksanakan upacara bendera hari Senin.

Kalimat Nayla yang terpotong, menimbulkan sejumput tanya di hati Fida. Curiga? Kecurigaan apa yang telah hadir dalam hati perempuan ramah itu? Jika sahabat sendiri merasa curiga dan seolah-olah tak mampu memahami, apalagi orang lain? Rahasia apa yang telah Adeeva simpan selama ini?

Tapi, pertanyaan itu tak jua mendapat jawaban. Hingga dengung ponsel pada jam istirahat pertama, membuat Fida berpikir bahwa mungkin saja dia mampu mendapat secuil jawaban dari berjuta tanya yang mengusik pikiran. Telepon dari Bu Nyai Marhamah yang memintanya untuk segera datang ke ndalem.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now