Arum | Teh Jahe Panas

94 23 17
                                    

Aku yakin seratus persen kalau Tim punya jurus seribu bayangan.

Dia ada di mana-mana!

Bayangkan. Waktu itu, seharian penuh, aku bertemu Tim sebagai pegawai kafe, lalu sorenya kami bertemu lagi di tukang fotokopi, setelah itu di jam satu pagi yang syahdu aku melihatnya berjaga di kasir minimarket. Sudah begitu, setiap kali bertemu penampilannya selalu rapi seolah-olah tak ada beban hidup.

Bahaya.

Orang ini berbahaya karena masih waras.

Mau direnungkan selama apa pun tidak akan ada habisnya. Kenapa, ya, dia mengambil kerja serabutan sebanyak itu? Dari tampangnya dia tidak terlihat seperti orang yang keadaan ekonominya terjepit seperti aku, tuh? Apa dia juga cuti kuliah? Atau penampilan luarnya yang menipu? Apa jangan-jangan kemampuan observasiku melemah?

Wah, ini gawat sekali.

Sekarang adalah hari kelima sejak pertemuan tak sengaja kami yang pertama. Aku sedang duduk di meja kafe terpojok, melakukan base coloring untuk beberapa ilustrasi buku anak yang naskahnya sedang dalam tahap revisi. Pada saat pesananku tiba, Tim datang.

Tumben sekali dia datang siang.

Aku melihatnya sekilas, tapi sepertinya dia tidak melihatku. Karena jarak dari meja ke kasir cukup jauh, aku menahan diri untuk tidak menyerukan namanya. Lagipula dia terlihat buru-buru. Jangan sampai aku menjadi sumber utama kekacauan baginya.

Pada akhirnya aku fokus mengurus gambar sampai camilanku habis dan segelas cookies and cream-ku sekarat.

Sepertinya mulai besok aku harus minum jus tanpa gula, atau mungkin belajar minum kopi. Terlalu banyak cookies and cream tidak aman bagi kesehatanku yang malang.

Setelah menyelesaikan semua base coloring, tahu-tahu saja panas matahari mulai menyengat karena sudah pukul sebelas siang.

Waktunya pergi.

Destinasi yang berikutnya adalah Boekhandel. Kalau di sana sepi, aku bisa melanjutkan ilustrasi sampai ke tahap finishing. Kafe juga mulai ramai, jadi lebih baik kalau aku pindah tempat.

“Udah mau balik, Rum?”

Langkahku terhenti di depan kasir. Lagi-lagi si mas berkacamata. Tim sempat mengenalkannya padaku satu kali. Siapa, ya, namanya waktu itu? Popo?

“Gimana progres hari ini?”

Kusedot isi gelas sampai airnya surut. “Baru sampai base color. Sekarang waktunya jaga toko.”

“Boekhandel?”

Mm-hm.”

Glad to know that place suits you,” kata Popo dengan senyum tiga jari secerah mentari. “Ingat enggak waktu kamu pertama kali ke sini? Mukamu kayak anak hilang gampang diculik. Coba lihat sekarang; udah santai banget perangainya kayak orang asli sini.”

Cengiranku melebar. “Ini namanya character development.

“Lebay.” Popo melimbai. “Kayaknya aku harus coba ke sana sesekali, deh. Boekhandel, maksudku.”

“Oh, kamu suka buku?”

“Enggak, sih.”

“Terus mau ngapain?”

“Mau ganggu kamu aja.”

Tawa Popo meledak saat aku mencebik sampai bibir bawahku melebar. “Tenang aja, Rum. Aku enggak bakal datang kalau ada Tim.”

Bagus. Itu tandanya kemunculan Popo di Boekhandel tidak akan pernah terjadi karena Tim datang setiap hari.

Saat mengarahkan kamera ponsel ke barcode yang dipajang untuk pembayaran non-tunai, tiba-tiba saja aku teringat dengan Tim yang sejak tadi tidak terlihat sama sekali. Ke mana dia? Bukannya dia jadi barista?

Knock, Knock! [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now