BAB 1: TERPANGGIL, MENARA, DAN PLAYER (1)

15 5 2
                                    

Waktu itu aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku bingung dan kaget. Di bawah tanah muncul lubang hitam ketika aku berjalan untuk pulang. Kemudian aku kehilangan diriku.

Namun, ketika aku membuka mata lagi. Aku menemukan diriku di tempat yang aneh. Terlalu indah untuk disebut surga dan terlalu mengerikan untuk dikatakan bahwa inilah neraka.

Di tempat yang tak jauh dari pemandangan hutan fiksi dimana peri tinggal, monster bermunculan dan bergerombol di hadapan kami semua.

“A-apa ini?” kata seseorang dengan nada takut.

“Kenapa bisa aku ada disini? Tiba-tiba ada sesuatu yang menabrakku dan kemudian...”

“A-aku juga mengalaminya!”

Pengalaman serupa terjadi dimana-mana. Beberapa orang mencoba mengendalikan diri. Nampaknya ada yang gagal, dikarenakan ketakutan mereka melebihi batas pemikiran manusia. Kapasitas dalam mental di uji sebegitu besarnya ibarat melebihi pelatihan keras militer.

Suara angin sela-sela bisa terdengar dan cahaya matahari menembus lubang yang melewati pepohonan rindang.

Meskipun aku mencoba tenang, tetap saja  apa yang aku lakukan seperti yang lain. Aku juga tidak bisa menipu diri dengan berpura baik-baik saja. Para monster ada di depan.

Ggrrrr..

Aku pikir itu hanya muncul di dalam sebuah game PC atau semacamnya dimana para monster berkerumun di tempat mangsa mereka berada. Karena mereka memiliki panca indera yang sangat sensitif. Langkah kaki perlahan berjalan ke belakang.

[Ujian: Langitkan Tekadmu!]

Agaknya itu seperti di buat-buat. Namun saat pesan itu muncul di depanku, depan kami semua dan satu hal yang pasti, kita bisa mati kapan saja.

[Batas waktu: 30 menit]

“Ti-tidak apa ini!?”

Kita di uji dengan adanya batasan waktu. Ketegangan di antara kami semua mulai membuat merinding dari punggung yang berkeringat hingga kepala yang panas.

[Hukuman: Kematian]

“...!”

Aku mendecikkan lidah dan mengatupkan gigi. Langkah kaki kananku mengambil satu langkah ke belakang. Tubuhku berguncang meski beberapa kali aku mencoba tenang. Tapi, saat aku menyeret kaki ke belakang suara logam terdengar dengan bunyi ‘Tang!’ yang lumayan.

Aku menoleh dan menyadarinya.

Mungkin... Kita bisa bertahan hidup, meski akan kehilangan rasa kemanusiaan.

“Fuu....” Segera aku berkata keras kepada semua orang. “Semua, ambil senjata masing-masing. Kita harus bertarung mengalahkan monster jika tidak ingin mati. Cepatlah!”

Pedang-pedang yang terlantar di belakang kami bukanlah suatu kebetulan. Meski nampak usang dan sedikit berkarat, tidak ada salahnya menganggap bahwa ini adalah keringanan yang diberikan oleh seseorang pada kami. Aku mengambil satu pedang dan merengut.

...Betapa beratnya.

Jujur tidak punya tubuh yang bagus tidak di untungkan. Fisik adalah yang menentukan keterampilan seseorang. Sementara aku tidak memiliki otot di tubuhku karena jarang melatihnya.

Pada awalnya orang-orang ragu untuk melakukan apa yang aku katakan. Tapi, ketika realisme merasuk, mereka segera berlari ke arah ini dan mulai berebut pedang. Sayangnya, sama seperti diriku ada yang kesulitan mengangkat pedang.

Ada juga yang mampu mengangkatnya dengan satu tangan tanpa masalah.

“Semua bentuk formasi dan posisikan diri dengan benar. Ingatlah bahwa kita semua bisa mati jika tidak mengalahkan monster.” karena tidak ada yang bisa mengambil alih kepemimpinan, caraku bicara layaknya menjadi salah satu bagian tersebut. Namun aku tidak mengakui diri sebagai pemimpin, hanya kali ini.

The SummonerWhere stories live. Discover now