Bagian 02

117 13 0
                                    

Hal 02| Lamaran

🍒  🍒  🍒

Enola keluar dari dapur dengan nampan yang berisi beberapa gelas teh hangat di atasnya. Ayah, Ibu dan Kak Tiwi duduk saling berhadapan dengan sosok laki-laki yang baru mereka temui hari ini. Enola menyajikan minuman di atas meja sebelum Ibu menarik Enola untuk duduk disampingnya dengan kepala tertunduk dengan wajah bersemu merah.

Suara jam dinding bergema diruangan yang sunyi. Ayah duduk dengan tenang, mempersilahkan Magan minum terlebih dahulu sebelum akhirnya memulai pembicaraan yang serius.

"Jadi, ada tujuan apa nak Magan datang kemari?" Mata mereka saling bertemu, Magan duduk dengan tenang tanpa sedikitpun gentar oleh tatapan yang lain.

Magan tidak langsung menyahut, dia menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan nada tenang. "Maksud kedatangan saya kemari, saya ingin melamar Enola."

Mata Ayah dan Ibu sedikit terkejut, mereka saling berpandangan seolah sedang bicara melalui tatapan satu sama lain. Sementara itu Kak Tiwi tersenyum senang sembari menyenggol lengan adiknya yang tampak malu-malu.

"Nak Magan kenal putri Bapak? Tapi Nola tidak mengenal Nak Magan."

Magan mengangguk setuju, "Benar, Enola memang tidak mengenal atau melihat saya sebelumnya. Yah, bisa dibilang, saya sudah cukup lama mengagumi Enola, hanya butuh waktu yang tepat untuk datang kemari dan meminta secara resmi kepada orang tuanya."

Ayah mengangguk-angguk paham. "Lalu, apa yang Nak Magan lihat pada Nola sehingga Nak Magan berani memintanya untuk dipinang?"

"Saya merasa kagum dengan akhlaknya yang baik hati, ramah dan suka menolong. Enola punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh gadis lain. Dia terlihat seperti perempuan idaman para pria."

"Apa karena itu?"

Magan mengangguk. "Saya merasa yakin dengan keputusan saya.  Saya tidak akan mengajaknya melakukan maksiat (pacaran), jika diberi kesempatan saya ingin langsung melamarnya."

Ayah mangut-mangut, mengerti. Laki-laki paruh baya itu terdiam selama beberapa detik seolah sedang memikirkan sesuatu. Dia berpaling menatap Enola yang masih setianya menunduk sambil meremat jemarinya dengan cemas.

"Bapak tidak bisa langsung memutuskan, pilihan ada padanya, kami hanya mendukung apapun yang Nola putuskan. Tapi Bapak berharap laki-laki itu bisa bertanggung jawab atas lahir dan batinnya. Tapi apa nak Magan dapat menjamin setelah menikahi putri Bapak, sebagai kepala keluarga, nak Magan dapat mendidiknya untuk menjadi istri juga seorang Ibu yang taat kepada Allah SWT?"

Setelah kalimat itu meluncur, jakun Magan naik turun beberapa kali. Pandangannya sedikit goyah namun tetap mencoba untuk tenang dipermukaan. "Saya dapat menjaminnya."

Ayah terbungkam lagi dan lagi. Dia memandangi Magan, meneliti penampilan dan wajah laki-laki itu dengan hati-hati. Dilihat dari segi wajah, dia cukup tampan dan blasteran. Matanya berwarna abu-abu sedikit kehitaman, hidungnya mancung, bibirnya penuh, berkulit putih bersih dan tubuh tinggi yang atletis. Ayah sudah dapat menebaknya dari awal bahwa dia bukan orang asia asli.

"Jika Bapak melihat, sepertinya nak Magan ini blasteran, benar?"

Magan mengangguk, "Seperti kebanyakan orang, mereka melihat saya dengan keturunan eropa dan asia."

Ibu yang sedari tadi hanya menjadi penonton dan mengamati interaksi suami dan orang itu dengan penasaran bertanya. "Kalau kami boleh tahu, orang tua nak Magan berasal dari mana?"

Kelopak mata Magan turun perlahan. Dia terbungkam selama beberapa detik sebelum dengan nada rendah menjawab, "Saya tumbuh di Panti Asuhan. Mereka menemukan saya didepan pintu saat saya baru beberapa bulan."

Kembalikan Cintaku S1 ENDWhere stories live. Discover now