22. Sebuah rencana

89 88 75
                                    

HAPPY READING


"Bagaimana jika kita ….”
Andra dan Leon tersenyum penuh arti.

"Bentar." Leon menetralkan kembali wajahnya, lalu duduk tegak. "Kenapa jadi kaya penggerebekan?" tanyanya heran.

Andra menatap ke arah Rea, "Kenapa gitu, Honey?" Andra menatap dalam.
Rea memalingkan wajahnya yang bersemu merah.

"Jiah, salting," pungkas Leon menepuk-nepuk pundak Andra.

Damn! "Siapa yang salting coba," elak Rea  menatap Leon sinis.

"Pipinya kenapa merah gitu?" Andra mengusap pelan pipi chubby Rea dengan lembut, "Sakit ya?" Pertanyaan bodoh itu terlontar dari mulut Andra.

"Bego," gumam Leon, lalu menyesap kopi miliknya.

“Ehem.” Rea berdeham singkat.

"Lanjutin rencananya." Rea berucap dengan semburat merah masih di wajahnya.

"Besok kamu ultah, kan?" lirik Leon ke arah Rea, sang empu mengangguk.

"Terus hubungannya sama rencana kita apa?" Andra mengerutkan dahinya heran, apa hubungannya ultah Rea dengan rencana pembongkaran teror ini? Pikir Andra.

***

"Apa acaranya diselenggarakan di mansion, Non?"

"Iya Bi, ada sedikit pertunjukan nanti." Rea terus memantau perkembangan dekorasi acara ultahnya yang akan diselenggarakan besok pagi hingga menjelang malam.

Bi Asri yang sibuk mengelap meja seketika berhenti sejenak, "Pertunjukan naon, Non?" Bi Asri tampak bingung.

Rea tersenyum simpul, "Bibi ikut memerankan, bukan?" tanya Rea menduduki kursi di dekat Bi Asri.

"Naon maksud anjeun, Non?" Bi Asri berdiri tegak menatap Rea bingung.

Tatapan bingung itu dibalas kekehan
kecil oleh Rea, "Saya becanda, Bi," ucap Rea, menatap Bi Asri seraya tertawa kecil.

"Oalah, si Enon mah bikin bibi bingung aja," ucap Bi Asri, lalu kembali mengelap meja dengan senyum tersungging di bibirnya.

***

"Menerornya terus menerus tidak akan membuat perempuan itu mati."

"Lalu?" Pria tua itu menyesap batang nikotin, laly mengembuskan asap putih ke udara.

"Pesta."

"Apa maksudmu, Nona?"

"Hancurkan pestanya. Sepertinya lucu jika ada pembunuhan berantai?!"

Pria itu terkekeh kecil, "Tak salah saya bekerja sama dengan Anda, Nona."

"Tapi, apa untungnya kau membunuh pria tampan sepertinya? Bukannya yang kau inginkan pria itu, Tuan? Lantas kenapa harus membunuhnya?"

"Tidak, saya tidak benar-benar menginginkannya, pengusaha muda yang sukses. Menghancurkannya sama dengan menghancurkan perusahaannya." Pria itu tersenyum bak iblis.

"Di awal kerja sama kita, saya sendiri tidak tahu tujuan Anda," lanjut pria berbadan besar dan berperut buncit itu.

"Tidak ada, saya hanya bersenang-senang."

Pria berjas hitam itu terkekeh geli.
"Anda pikir saya bodoh, hm?"

"Memang itu yang ada di diri Anda, Tuan."  Wanita itu terkekeh kecil setelah itu ia menyeringai.

"Terlalu banyak basa-basi, segera ke intinya saja!" seru pria itu dengan tegas.

"Kenapa bertanya? Kau tidak ingin langsung menyaksikannya?"

"Dia putriku."


***



Pagi yang cerah. Rea memakai mini dress berwarna putih yang tampak anggun, mahkota kecil dengan beberapa helai rambutnya yang beterbangan.

Pesta yang mewah dan megah akan digelar saat ini. Panggung luas yang dihiasi bunga di sekelilingnya, tampak cantik dan menarik.

Andra terpaku sejenak melihat sosok cantik di hadapannya. Dengan pasti, langkah itu ia bawa menuju gadisnya.

"Happy birthday, Honey." Andra mengecup singkat pelipis Rea, lalu tersenyum ssetelahnya.

"Terima kasih, Sayang." Rea membalasnya dengan memeluk singkat tubuh atletis itu.

Perlahan, tangan Andra mendarat pada pipi chubby Rea, menyelipkan helai rambut gadis itu ke belakang telinga. Dia benar-benar terpaku pada wajah cantik Rea yang  memesona.

Apa kelak ia akan berdiri di tempat seperti ini dengan gelar pernikahan? Dengan gadis yang sama yang saat ini tengah berdiri di hadapannya?
Akan tetapi, satu memori terlintas di benaknya, membuat wajah Andra berubah sendu seketika. Tidak mungkin pernah bersatu dan tidak akan!

"Rea Gembul!!! Happy birthday, Bestie!!!!"
Rea menggeleng-gelengkan kepala saat matanya menangkap sosok Sella dan suara cempreng itu memasuki gendang telinganya.

Rea segera menyambut pelukan
yang diberi Sella. Andra segera menyingkir dari sana.

"Semoga lo panjang umur, sehat selalu and kurangin dikit mata buayanya. Ouh ya, jangan lupain gue, ya?!” Namun, ucapan terakhir itu hanya mampu Sella ucapkan di dalam hatinya.

"Gue ga ada mata buaya, yee!!"
Sella meringis kecil saat tangan mungil sahabatnya itu mendarat pada bahunya dengan keras.

"Sakit woii!!" Gadis itu menatap Rea dengan jengkel seraya mengelus-elus pundaknya.

"Ndra, kok di luar berisik banget, ya?" Itu suara Leon yang tiba-tiba hadir di antara mereka.

Brak!!

Praak!!

"Bukannya sudah dijaga dengan ketat?"

"Damn, Siapa lagi yang berulah?!!"

Garis Takdir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang