03. Broken & Molten

288 56 20
                                    


Song: Bluebird by Alexis Ffrench, Requiem by Mozart


...


"Aku akan menikah."

Renjun tercenung ketika kalimat barusan seperti sengaja sekali disebutkan ke udara. Perbincangan temu kangen biasa di antara keramaian kafe ibukota, mendadak jadi bernuansa suspense meresahkan jiwa.

Bukan ini yang ia harapkan ketika janji bertemu diutarakan.

Bayangkan sebuah bumi biru yang damai sejahtera; alam serta flora dan fauna bersinergi dengan kehidupan manusia, lalu tiba-tiba entah dari galaksi mana, satu meteor besar datang menghantam segalanya tanpa sisa.

Hancur lebur serupa kubangan lumpur.

Itulah gambaran Renjun sekarang; tubuh tegang, tengkuk meremang, otak juga ikutan nge-blank. Kedua lututnya lemas—ia nyaris merosot dari duduk pura-pura tenangnya di kursi kafe. Izin melipir sebentar dari persiapan harian restoran dengan alasan urgensi, ternyata malah berakhir dapat berita menohok hati.

"Oh." Gelas isi agua fresca(1) campuran nanas dan mangga kembali disesap pakai tampang janda tengah berduka. Suara sebisa mungkin dibuat netral tanpa ada emosi berlebih tertera. Alunan musik jazz penuh warna sungguh berbanding terbalik dengan awan-awan kelabu yang berlomba menaungi hatinya. "Kapan acaranya?"

Jung Jaehyun tersenyum simpul.

Tuhan, Renjun sungguh sangat ingin melayangkan kepalan tinju juga ciuman rindu di wajah tampan itu sekarang.

"Tidak ingin tahu siapa orang yang beruntung itu?"

"Oh, seriously?"

Renjun menatap Jaehyun tidak percaya, nyaris tersedak minuman dalam gelasnya. Ia tahu kalau kalimat tadi hanya bercanda, sama sekali tidak ada nada jumawa tersirat di sana.

Karena sejak jadi mahasiswa culinary rantau dan kenal Jaehyun sebagai kakak tingkatnya, Renjun selalu melihat laki-laki itu bersikap penuh sahaja. Meski dia cukup populer di kampus, tapi tutur kata maupun tingkah lakunya tidak pernah menunjukkan karakter yang haus akan puji dan puja.

Pertemuan tidak sengaja mereka terjadi saat Renjun kepergok tengah serius bicara sendiri demi mengomentari ingrendients dari croque monsieur-nya(2) dalam bahasa Korea—kebetulan waktu itu ia sedang beli makan siang di area sekitar Left Bank. Jaehyun ternyata tengah mengantre pada kedai serupa. Ia duluan yang akrab menyapa, basa-basi bertanya asal negara, kegiatan apa yang dijalani olehnya (tak disangka mereka ternyata satu negara dan satu tempat menimba ilmu juga). Begitulah, tiba-tiba saja keduanya sudah bertukar nomor ponsel juga informasi tempat makan murah tapi enak di sekitaran kampus mereka.

Ada beberapa kesamaan (tentu saja di samping tanah kelahiran) yang membuat keduanya tertarik pada satu sama lain selama dua tahun lamanya: musik, film, dan kecintaan terhadap makanan dari berbagai belahan dunia. Setiap kali ada waktu luang dan demi meminimalisir stress tinggal sendirian di tanah orang, mereka akan food-hunting atau piknik sederhana seraya mengobrol santai di pinggiran Seine. Menghabiskan akhir pekan dengan melihat beragam manusia sibuk lalu-lalang, menyaksikan batobus(3) hilir mudik membawa pelancong menyusuri aliran sungai yang tenang sampai malam menjelang, sementara di kejauhan, Eiffel mulai nyala gemerlap bermandikan cahaya terang.

Saat Renjun lulus dan mesti kembali ke Seoul, Jaehyun tetap tinggal untuk bekerja selama tiga tahun di Paris. Pada jangka waktu yang sama, ia sudah bergabung dalam tim dapur Blue Plate sebagai chef junior berbarengan dengan masuknya Haechan. Bahkan ketika Jaehyun kembali dan mulai membangun karir di negeri sendiri, mereka masih lumayan lancar menjalin komunikasi. Intensitas pertemuan keduanya memang lambat laun berkurang. Tidak ada lagi acara jalan santai di akhir pekan akibat tuntutan pekerjaan, tidak ada lagi kegiatan food-hunting lalu mengomentari apa saja plus-minus dari setiap menu pesanan. Hanya ada chat singkat berupa ucapan selamat tambah usia dan selamat hari raya yang terselip di antara deretan pesan kerja, atau tagihan bulanan yang sekarang jadi tanggung jawabnya selaku orang dewasa.

bon appétit!Where stories live. Discover now