IBU

39 6 5
                                    

     "Bangun, Ann. Anak perempuan kok nggak bisa bangun pagi. Ayo bangun!"

     Suara ibu. Debaran jantungku mereda. Sudah kuduga, semua itu hanya mimpi. Ibu masih berisik di pagi hari. Sibuk sejak matahari belum bangun, walau di rumah ini hanya ada kita berdua.

     "Ayoo, Ann. Jangan bengong kalau udah bangun. Cepat mandi, abis itu anterin ibu ke pasar!"

     "I...iya bu." Gegas aku turun dari tempat tidur. Menyambar handuk, baju ganti, dan segera menuju kamar mandi. Kalau nada Kanjeng Ratu sudah naik satu oktaf, lebih baik segera jalankan perintahnya tanpa banyak alasan. Telinga cantikku taruhannya.

     Mandi, udah. Pelembab, udah. Motor, siap. Okeee... Ojek siap. Pasar tidak jauh dari rumah. Tapi ibu selalu minta diantar pakai motor. Selain alasan kaki yang tidak bisa diajak jalan jauh, ibu ingin aku juga terbiasa berbelanja dipasar. Mengenali barang, tahu harga agar bisa mengelola keuangan pribadi. Pelajaran dasar jadi ibu rumah tangga, kata ibu, tidak kalah rumit dengan pekerjaan akuntan. Bedanya, akuntan tidak perlu bingung dengan pergerakan uang belanja yang banyak minusnya daripada surplus.

     Begitulah, jika berbelanja bersama ibu. Sepanjang jalan, bahkan saat berkeliling di pasar, banyak pelajaran yang ibu utarakan sambil menggandeng tanganku. Tadi tentang bagaimana cara berpenampilan yang sopan tapi menarik, lalu cara kerja akuntan rumah tangga, sekarang saatnya pelajaran gizi dan kuliner. Menghadapi seorang ibu yang begitu luas pengetahuannya, katakan bagaimana aku tidak bangga dengan beliau. Ibuku yang nomer satu.

     "Makan sayur yang banyak. Perempuan itu, nggak boleh makan daging aja. Ndak bagus!"

     "Iya, Bu." Ibu sekilas melirikku sambil tersenyum. Lalu, jemarinya kembali menunjuk apa saja yang harus aku beli.

     "Bayam, itu bagus buat tubuh. Apalagi kalau kamu haid, nggak bikin lemes. Jangan lupa, rutin makan daun pepaya. Jangan terlalu dihilangkan getahnya. Justru yang pahit itu yang manfaatnya gede. Lalu ...."

     "Belanja apa, Ann?"

     Aku menoleh, saat mendengar ada suara sapaan yang memotong penjelasan ibu. Rupanya Bu Darmi, tetangga sebelah rumah. Aku tersenyum, dan meraih tangannya untuk salim, baru menjawab sapaannya.

     "Lagi belanja sayur sama i...."

     Suaraku tercekat. Senyumku seketika lenyap. Tak ada ibu disampingku. Kutolehkan kepalaku kebelakang, mungkin saja ibu tertinggal. Tapi tetap tak ada. Ibu .... Tak ada dimanapun. Tak mungkin. Debar jantungku meningkat. Keringat dingin mengalir di pelipis. Tapi, sejauh apapun kucari, ibu tetap tak terlihat. Tidak .... Jangan lagi.

      "Ann."

      Jadi itu bukan mimpi? Ibu benar-benar sudah tidak ada? Sesak yang ada di dada membuatku tak bisa bernapas dengan benar. Air mata juga sudah membanjir di wajah. Tapi ibu tetap tidak muncul. Aku tidak mau. Aku tidak mau sendirian. Aku mau ibu. Jika di dalam terang ini ibu tak dapat kutemukan, akankah dia ada di kegelapan yang ada di depan sana?

     "ANN ...."

     Gelap itu datang. Aku ingin dipeluk sekali lagi, bu. Datanglah ....

Selamat datang di kumpulan cerita 3D. Exerapolis, 290323.

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Mar 29, 2023 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Kumpulan CeritaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu