Bab 24: Doa Yang Tak Terjawab

11 3 0
                                    

DUA tahun kemudian ....

Uap bening dari sup rusa buatanku dan Kak Tallu langsung menyambut hidung ketika aku membuka wadahnya. Aku memasukan centong lalu mengaduknya sebentar dan mengambil dua centong sup dan memasukannya ke dalam mangkuk. Setelah mangkuk tersebut terisi, aku langsung memberikannya pada Kakek Ebe, mangkuk kedua aku berikan pada Kak Tallu, mangkuk ketiga Vail, lalu mangkuk terakhir adalah Kaie.

Kaie—selaku orang yang paling lapar diantara kami langsung melahapnya. Aku tersenyum tipis, lalu mengambil semangkuk sup rusa untuk diriku sendiri setelah melayani semua yang ada di lantai beralaskan tikar.

Aku menatap Kak Tallu dan Soan sesekali.

Iya, benar. Soan adalah anak Kak Tallu. Dia lahir di musim dingin tahun lalu. Wajahnya putih dan pipinya merah manis. Kak Tallu menamainya demikian karena dia cantik seperti angsa, dan kalau boleh, aku memiliki pendapat kalau Soan mirip sekali dengan kak Tallu.

Setelah kelahiran Soan, aku secara resmi menjadi seorang Bibi. Membahagiakan. Namun aku merasa ada yang kurang. Kalau saja Keluarga kami masih ada, mungkin ... mungkin mereka akan sangat bahagia dengan kelahiran anak perempuan baru di Keluarga Ejap—keluarga kami.

Masa lalu tetaplah masa lalu bukan? Yah, mau bagaimana lagi? Mau tidak mau ... aku ... harus merelakan mereka pergi. Dengan adanya Kaie, Kakek Ebe, dan Vail tampaknya sudah cukup. Mereka ... adalah keluarga baru kami.

Setelah Soan lahir, Kakek Ebe langsung gembira sekali. Dia nyaris hendak menari dan menganggap Soan seperti cucunya sendiri.

Vail, kupikir dia yang paling dramatis karena setelah Soan lahir dia langsung menangis, dan Kaie, dia menatap teduh keponakanku dan menganggap bahwa dia sangat cantik, seperti aku ataupun Kak Tallu. Yah, dia memang cantik, dan mirip sekali dengan Ibunya.

Langit mendung di luar. Aku menatap ke jendela. Di luar sana salju turun dengan lambat. Mungkin setelah ini badai salju akan datang karena langitnya yang menghitam.

Aku menghela napas, lalu melahap daging sup rusa yang ternyata empuk. Kukira, dagingnya akan alot karena rusanya sudah tua, tapi ternyata tidak. Yah, itu karena aku dan Kak Tallu menggunakan bumbu rahasia. Syukurlah Kak Tallu masih ingat bumbu rahasia keluarga kami, jadi kami bisa memasak rusa yang sudah tua dengan baik.

-

Aku berdiri di tepi sungai.
Sungainya sedikit membeku dengan aliran air yang lambat nan dingin di seberang sana. Sama seperti musim dingin tahun lalu, aku tidak membawa sesaji apapun, kecuali busur dan panah.

Aku menatap ke sekeliling. Sepi. Tidak ada orang kecuali aku.

Yang berisik kini hanya aliran sungai yang dingin, dan sesekali burung-burung yang terbang ke arah yang lebih hangat.

Aku mendudukkan diri di atas salju dan memeluk lutut. Melamun, dan memikirkan hal yang sudah kulalui sejak insiden dua tahun lalu. Air mataku tiba-tiba saja luruh. Aku mengusapnya sesekali, dan menenggelamkan kepala ke lutut.

Bunyi gemericik salju yang jatuh dari atas pohon serta-merta mengganggu indera pendengaranku, tapi aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Itu pasti tupai, burung, atau semacamnya.

"Nila?"

Aku langsung bangun lantas melesatkan anak panahku dengan cepat karena panik.

Meleset.

Kaie langsung mematung sambil mengangkat tangan dengan ekspresi terkejut. Aku langsung menghela napas setelah tahu ternyata orang yang memanggilku adalah lelaki ini. Jantungku memantul sangat keras. Aku khawatir jika ada orang asing yang tiba-tiba menyapaku dan menyerangku dari belakang. Aku ... sangat takut.

GLACIER [END]Where stories live. Discover now