Prolog

661 40 1
                                    

-London, 1490

Tuk-tuk-tuk. Hari itu hujan turun dengan derasnya.

Ariel menatap ujung sepatunya dan melihat beberapa tetesan hujan memantul dalam percikan kecil. Angin berhembus, memainkan ujung gaun Ariel. Suara Pendeta terdengar sayup-sayup.

"Hadirin yang terkasih... Hari ini kita berkumpul di hadapan Tuhan untuk mengenang dan menghormati kehidupan Renata Clarke, Countess Kenwood yang terkasih...."

Ariel menutup mata, meresapi kalimat yang diucapkan Pendeta.

"Meskipun kita berkumpul dalam kesedihan, kita juga datang bersyukur atas anugerah hidup yang diberikan kepada kita oleh Sang Pencipta..."

"My Lady," seorang pelayan berlari tergopoh-gopoh menghampiri Ariel. "Mohon maaf, My Lady, His Lordship mengabarkan bahwa ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga Beliau akan terlambat menghadiri pemakaman."

Ariel mengangguk. Ayahnya, Earl of Kenwood baru saja menyampaikan secara tidak langsung bahwa dirinya tidak akan menghadiri pemakaman Ibunya.

Ariel mengamati seorang pelayan lain berlari menghampiri Pendeta, kemungkinan menyampaikan berita yang sama. Pendeta mengangguk menanggapi, tampak tidak terkejut─kemungkinan sudah diberitahukan sebelumnya─sehingga mungkin, hanya Ariel sendiri yang tidak tahu.

Ariel menghela nafas dan menyadari bahwa ia sendiri pun tidak terkejut. Sungguh bodoh kalau berharap Ayahnya akan datang. Semenjak dokter memberikan diagnosa bahwa Ibunya tidak akan bertahan lama dengan penyakitnya, dan Earl, sang Ayah sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya kepada sang istri, Ariel sepertinya bisa menebak bahwa inilah yang akan terjadi.

Ariel menoleh dan mengangguk kepada Pelayan itu, sebelum akhirnya si Pelayan pergi dan kembali berdiri di samping, bersama dengan barisan pelayan lainnya.

"Sekarang, Lady Ariel, Anda boleh meletakkan bunganya..." ujar Pendeta pelan.

Kerumunan tersibak, memberikan jalan kepada Ariel untuk melangkah maju. Ariel menatap satu per satu wajah pelayat yang tampak muram. Beberapa tampak berbisik dan bergumam, dengan jelas menggosipkan keluarganya seolah Ariel tidak bisa mendengar.

"Bukankah ini pemakaman istrinya? Bagaimana mungkin Earl Kenwood tidak hadir..."

"Kau tidak membaca berita di harian gosip? Earl punya wanita simpanan lain yang sangat cantik."

"Astaga, kasihan sekali Countess..."

"Tetapi, kudengar Countess yang merebut Earl dari kekasih pertamanya."

"Ya, ampun... benarkah?"

Ariel menatap wajah pucat Ibunya yang tampak damai.

"Sampai akhirpun, bukankah kau membenciku Ibu?" Ariel berbisik sebelum akhirnya meletakkan bunga di antara genggaman tangan Ibunya dan memberikan isyarat agar para pelayat bisa meletakkan bunga satu per satu sebelum akhirnya peti ditutup.

Drap-drap-drap

Terdengar langkah kaki terburu-buru, membuat semua pelayat, termasuk Ariel menoleh. Seorang gadis secantik malaikat datang dengan wajah sendu. Rambut pirangnya diikat dalam kepangan sederhana.

"Maafkan karena aku terlambat." Arlene, saudari tirinya datang dan langsung memeluk Ariel lalu menggenggam tangannya erat. "Kau pasti sedih kalau sendirian."

Ariel menatap Arlene dengan ekspresi datar. Kehadiran Arlene dengan wajah senduya membuat beberapa pelayat memasang ekspresi simpatik. Sebagian lainnya tidak bisa menahan diri untuk bergosip.

"Astaga, apakah ini putri sah Earl? Cantik sekali."

"Bukan gadis yang membawa bunga tadi?"

"Lihatlah, bukankah gadis yang ini terlihat lebih sedih? Gadis yang pertama tadi terlihat sama sekali tidak sedih dengan kematian Ibu kandungnya. Bukankah itu aneh?"

"Ah, barangkali kau benar..."

Ariel kembali mengembalikan pandangannya ke tanah yang basah oleh hujan, sementara tangan satunya digenggam oleh Arlene yang sesunggukan di sebelahnya.

Mungkin, para pelayat itu benar, bahwa dirinya tidak punya hati.

Tangan Ariel pelan menyentuh ujung rambutnya yang terasa kasar dan tidak sama panjang. Ia menutup mata dan bergidik saat mengingat gunting yang berulang kali memotong rambut coklatnya yang tidak berwarna pirang. Ia baru bisa memanjangkan rambutnya setelah Countess jatuh sakit.

"Kalau saja rambutku seperti Arlene. Pirang madu yang sangat indah", pikir Ariel sedih. "Kalau saja aku bisa secantik Arlene..."

Ada begitu banyak 'kalau saja' yang terpikirkan olehnya saat ini... Saat melihat pendeta memberikan penghormatan terakhir. Saat melihat peti mati perlahan-lahan diturunkan dan dikubur ke tanah. Semuanya bermula saat Arlene dan ibunya datang.

Semuanya dimulai dari saat itu.

"Ariel, mulai hari ini, Arlene akan tinggal bersama kita. Usianya hanya lebih tua beberapa bulan darimu, jadi kau bisa memanggilnya kakak, atau Arlene, terserah padamu. Bersikap baiklah padanya."

Ariel menatap gadis cantik di depannya dengan tatapan bingung. Gadis kecil itu digandeng oleh seorang wanita yang juga sangat cantik. Keduanya sangat mirip satu sama lain. Rambut pirang panjang yang digelung rapi, pipi kemerahan dan bibir semerah mawar.

Melihat tatapan Ariel yang berpindah-pindah pada ayahnya dan pada kedua sosok yang dibawanya, gadis kecil itu balas menatapnya, lalu tersenyum.

Oh, dia sangat cantik, seperti malaikat, pikir Ariel sambil balas tersenyum dengan canggung.

"Halo Ariel, namaku Arlene," Arlene mengulurkan tangan sambil tersenyum manis.

"Namaku... Ah!" Ariel terkejut ketika tangannya ditekan dengan kencang oleh Mamanya, sontak ia menarik tangannya cepat, tidak jadi bersalaman dengan gadis di depannya.

Ketika Ariel mengangkat wajahnya untuk melihat Mamanya yang berdiri di sampingnya, wajah Mamanya tampak marah, gusar, dan seluruh tubuhnya gemetar hebat.

"Kau berani membawa selingkuhanmu kemari? Sekarang katakan padaku... apakah gadis kecil itu anakmu?"

"Astaga, Renata! Tidak bisakah kau tidak membuat keributan sekarang ini? Saat semua pelayan menatap kita?"

Mamanya menggigit bibir keras dan Ariel menatap Mamanya bingung. Ia takut bibir mamanya akan berdarah kalau digigit sekeras itu. Pasti rasanya akan menyakitkan.

"Mama?"

Ariel bertanya pelan, namun lirikan sekilas dari Mamanya membuat Ariel terdiam.

"Kau bajingan busuk."

Sejak hari itu, hidup Ariel tidak sama lagi.

[18+] The Lady in DisguiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang