Hasrat Elena

162K 620 3
                                    

Guys, maaf, ya. Cerita ini hilang mendadak. Mungkin karena ada yang report atau apa, tapi kami berusaha meng-upload ulang.


***

Suara musik di ruangan itu begitu memekakan telinga, namun tetap menyenangkan bagi semua orang yang ada di ruangan itu. Warna-warni lampu menyorot tubuh-tubuh yang menari di tengah ruangan sana. Bau alkohol begitu menyengat. Sementara itu, di lantai dua maupun lantai tiga, para pasangan sedang asyik saling mendesah, saling berkeringat, dan saling berbagi kenikmatan. Inilah surga bagi beberapa jenis manusia tertentu, terutama mereka yang merasa sudah menjadi penguasa dunia.

Elena juga di tempat itu, tentu saja. Dia duduk sendirian di sudut ruangan dengan sebotol anggur di tangannya. Toleransi alkoholnya sangat tinggi. Dia sudah minum beberapa gelas, namun sama sekali tak kehilangan kesadarannya, bahkan untuk sekadar merasa pusing. Elena menatap sekitar. Dia melihat semua kebebasan di sana. Sebenarnya tak perlu menuju lantai dua ataupun lantai tiga untuk melepas hasrat sebagai dua orang berlainan jenis, duduk di ruangan ini pun sepertinya mereka bisa menuntaskan hasratnya. Elena bisa melihat banyak pasangan yang duduk di sofa panjang di sana, di mana para lelaki sama sekali tak sungkan meremas payudara masing-masing wanita yang duduk di pangkuan mereka. Bahkan Elena melihat beberapa di antara lelaki itu juga sama sekali tidak ragu untuk menyentuh area bawah itu, area paling sensitif, membuat para wanita yang duduk di pangkuan mereka semakin mendesah.

Elena menarik napas panjang. Sebetulnya dia datang ke tempat itu karena terlalu lelah dengan pekerjaannya dan butuh waktu untuk bersenang-senang dengan beberapa gelas anggur. Ya, hanya dengan beberapa gelas anggur. Jangan berpikir bahwa dia adalah salah satu pelacur di bar itu. Dia sama sekali tidak pernah berurusan dengan satu lelaki pun di sana atau juga lelaki di tempat lain.

Elena bersandar di sandaran kursinya sebelum kemudian menyadari bahwa seseorang kini menghampirinya. Dia kembali menegakkan kepala, menatap gadis bertubuh seksi yang mendekatinya. Sebut saja dia dengan nama Nela, salah satu teman Elena yang juga merupakan salah satu pegawai di kantornya. Sayang, Nela juga merupakan salah satu pelacur di bar itu.

"Jadi, kau masih belum berani menemui dokter hingga sekarang?"

Elena menggeleng sebagai jawaban. Dia menghela napas pasrah. "Aku masih memakai dildo hingga sekarang."

Nela ikut menghela napas mendengar respon Elena. Dia benar-benar tak habis pikir. "Kenapa kau tidak membayar orang saja untuk jadi gigolomu? Atau mungkin lebih baik kau menikah. Kau pasti tahu bahwa hiperseks bisa merusakmu jika dibiarkan begitu saja."

Apa yang dikatakan temannya memang benar. Dia maniak seks, namun sama sekali tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun. Hanya mengandalkan alat-alat bantu seks untuk memenuhi hasratnya. Dia tidak pernah berani untuk berhubungan dengan sembarang lelaki, terlalu takut terkena HIV. Tak ada yang bisa menjamin para lelaki itu tidak akan menularkan penyakit kelamin padanya. Dia juga tidak mau menikah hingga sekarang. Menikah dianggapnya terlalu mengikat.

Sudah berkali-kali Nela menasihatinya untuk pergi ke dokter agar hiperseksnya bisa ditangani. Sayang, dia memiliki phobia terhadap rumah sakit dan dokter karena trauma masa lalu. Jadilah sekarang dia terjebak dalam keadaan semacam ini. Tiap hari hanya bisa memenuhi hasratnya lewat dildo.

"Sudahlah, Nela. Jika aku terkena HIV, bukan kau yang akan mengobatiku atau orang lain, karena memang obatnya belum ditemukan. Ok, aku pergi sekarang. Nikmati malammu." Dan tanpa menunggu respon dari Nela, dia pun pergi dari tempat itu. Lagi pula malam sudah semakin dalam.

Elena mengendarai mobilnya menuju kantornya. Dia ingat sudah meninggalkan vibratornya di laci meja ruangannya. Tak mungkin dia membiarkannya di sana, karena dia membutuhkan benda itu malam ini.

Sampai di sana, tentu kantornya sudah sangat sepi. Dia berjalan sendirian menuju ruangannya, sama sekali tidak menyadari ada bahaya yang mengintainya sejak tadi. Elena baru menyadari ada orang yang mengikutinya ketika dia sampai di ruangannya. Orang itu berdiri tepat beberapa meter di belakangnya. Elena tentu saja langsung terkesiap ketika melihat lelaki bertopeng hitam itu bahkan ketika dia belum sempat membuka laci mejanya. Dia menahan napas karena takut, apalagi ketika melihat lelaki itu menodongkan pistol padanya.

"Serahkan barang-barangmu! Semuanya, termasuk perhiasan!" Lelaki itu berjalan mendekat, masih di posisi menodongkan pistol. Elena berjalan mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. Dia berusaha menenangkan diri ketika mulut pistol itu sudah menempel di lehernya. Dia menatap sejenak lelaki itu dengan saksama. Dia meneguk ludah. Entah apa yang dia pikirkan sekarang, namun ketika melihat postur tubuh lelaki itu yang menurutnya sangat sempurna, mau tak mau dia merasakan ada sesuatu dalam dirinya yang bangkit. Ada hawa panas yang menyelimutinya saat ini. Sesuatu yang sedikit sulit untuk dia tahan.

Elena bahkan sudah tidak peduli dengan mulut pistol yang masih menempel di lehernya. Dia menatap mata lelaki itu dengan sangat dalam. Bahkan mata cokelat itu seakan terasa menghipnotisnya. Sesuatu terlintas di pikirannya untuk melumpuhkan lelaki ini sekaligus untuk memenuhi sesuatu dalam dirinya yang serasa tak bisa ditahan lagi.

"Aku bisa memberikan apa pun yang kau inginkan malam ini, uang ataupun perhiasan. Asal kau tahu saja, aku bukan pegawai di kantor ini, melainkan pemilik kantor ini sendiri, pemilik perusahaan ini. Kuharap kau menyadari bahwa ada banyak CCTV di kantor ini yang mungkin bisa menjadi bukti bagiku. Dan asal kau tahu saja, untuk menangkap perampok sepertimu adalah sesuatu yang terlalu mudah bagiku." Elena mengangkat dagu, mulai berani menantang lelaki itu. Dan dia tersenyum puas ketika menyadari bahwa lelaki itu terlihat seperti mulai khawatir dengan apa yang dia katakan tadi.

"Kenapa kau diam saja? Lanjutkan saja aksimu. Kalau boleh mengancamku balik. Seperti yang kukatakan tadi, aku bisa memberikan apa pun yang kau inginkan malam ini, hanya saja dengan satu syarat yang harus kau penuhi juga."

Lelaki itu langsung menatap Elena dengan tatapan serius, bahkan dia menurunkan pistol itu dari leher Elena. Meski tanpa berkata-kata, Elena sangat yakin bahwa lelaki ini ingin mendengar apa satu syaratnya.

"Apa syaratnya?" Lelaki itu akhirnya bertanya. Elena tersenyum puas.

"Apa kau pernah bercinta sebelumnya? Maksudku, apa kau pernah berhubungan seksual dengan perempuan sebelumnya?" Elena tanpa ragu sedikit pun menanyakan pertanyaan itu. Dia bisa menyadari bahwa lelaki itu membulatkan mata di balik topengnya. Dalam beberapa detik mereka hanya terdiam sambil saling menatap. Sampai kemudian Elena melihat gelengan kepala dari lelaki itu. Dia tersenyum lagi, senyuman yang lebih lebar.

"Kau yakin kalau kamu masih perjaka?"

"Ya." Lelaki itu menjawab dengan cepat.

"Berapa umurmu?"

"Tiga puluh tahun."

Elena mengangkat alis, hanya selisih dua tahun lebih tua dari umurnya sekarang. Kali ini dia berani berjalan mendekat pada lelaki itu, tangannya lantas terangkat dan melepaskan topeng hitam dari wajah lelaki itu. Dia langsung terkesiap dan meneguk ludah begitu melihat wajahnya. Dari mulai postur tubuh, rambut pirang yang panjang dan halus seperti rambut peri seperti yang sering dia lihat di film fantasi hollywood, bahkan hingga wajahnya mengingatkan Elena pada salah satu karakter peri bernama Legolas mahakarya Tolkien. Tampan.

"Bercintalah denganku malam ini, sekarang juga. Setelah itu aku akan memberikan semua yang kau minta."

🔞 Untuk Hasrat Elena (21+) 🔞 (TAMAT) Where stories live. Discover now