BAB IV : Santet?

910 82 7
                                    

Waktu terus berjalan. Hari haripun terus berganti. Tak terasa, seminggu sudah aku tinggal di pondok kayu peninggalan bapakku ini. Banyak suka duka yang aku alami. Banyak peristiwa yang telah terjadi. Susah dan senang datang silih berganti. Dan dari semua peristiwa yang kualami selama tinggal di desa ini, lambat laun aku mulai bisa sedikit mempercayai semua cerita dari penduduk desa, yang mengatakan bahwa lokasi dimana pondokku ini berada adalah wilayah yang angker.

Istriku juga sudah banyak bercerita. Tentang bocah kuping lancip yang belakangan kuketahui bernama Temon, bocah misterius yang konon kata warga adalah dedhemit penghuni kali kecil yang mengalir diantara turunan dan tanjakan jalan Tegal Salahan. Juga perempuan leher bengkok yang menurut perkiraan Mas Bambang adalah jelmaan arwah Mbak Dewi, warga Desa Kedhungsono yang dulu mati gantung diri di pohon sengon di ladangnya Mbah Kromo. Lalu sosok Nenek Boghing yang menurut istriku, adalah sosok nenek nenek tua bungkuk dengan tubuh kurus kering namun memiliki sepasang payudara yang sangat besar, sebesar buah pepaya bangkok. Dan yang terakhir, adalah misteri tentang siapa yang setiap malam membantu menggarap ladangku, hingga setiap hari ada saja petak petak ladangku yang entah bagaimana caranya telah selesai digarap dan dicangkul.

Semua cerita dan kejadian itu terasa tak masuk akal bagiku. Namun sepertinya aku harus mulai membiasakan diri. Toh, selama mereka tak sampai mengganggu, tak masalah bagiku. Justru sebaliknya, kehadiran mereka sedikit banyak bisa meringankan bebanku.

Si Temon itu misalnya, sudah beberapa kali bocah misterius itu datang mengantarkan ikan untuk istriku. Mungkin ikan ikan itu ia tangkap di kali kecil sana, yang kata orang adalah tempat bocah itu bersemayam. Kata Mas Bambang, Si Temon ini memang sangat suka menangkap ikan disana.

Lalu si perempuan berleher bengkok atau kita sebut saja Mbak Dewi, juga sering mengunjungi istriku, sekedar untuk saling bertegur sapa atau mengantarkan sayur mayur yang entah ia dapat darimana. Sementara sosok Nenek Boghing sendiri, seingatku baru baru sekali menemui istriku, yaitu saat memberikan kalung yang terbuat dari untaian ranting bambu kuning yang sampai saat ini masih dikenakan oleh Romlah.

Satu hal yang masih membuatku penasaran adalah, aku sendiri sekalipun belum pernah menjumpai atau melihat kehadiran sosok sosok misterius itu. Semua kejadian yang berhubungan dengan mereka, selalu dialami oleh istriku. Entahlah, sepertinya mereka selalu berusaha mencuri waktu dan menghindariku saat ingin menjumpai istriku.

Apa sebabnya, aku sendiri juga kurang tahu. Dan aku juga tak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu. Seperti yang aku bilang tadi, selama mereka tidak mengganggu ataupun merugikanku, aku tak begitu peduli. Aku hanya fokus untuk bekerja dan bekerja, mengingat sisa uang simpananku yang sudah semakin menipis, sementara kami butuh makan setiap hari. Belum lagi persiapan untuk istriku melahirkan nanti. Waktunya semakin dekat, dan yang pasti juga memerlukan biaya yang lumayan banyak.

Beruntung, masih ada beberapa pohon Sengon peninggalan bapak yang sudah lumayan besar besar tumbuh di ladangku. Mas Bambang sudah berjanji untuk menawarkannya kepada juragan peti mati yang ada di kota kecamatan sana. Semoga saja, pohon pohon Sengon itu bisa cepat laku dan menjadi duit untuk menyambung hidup kami.

Praktis, selama seminggu ini aku hanya fokus menggarap ladangku. Sudah hampir separuh yang berhasil aku garap. Selain karena aku yang bekerja cukup giat, juga seperti yang kubilang diatas, ada yang membantuku menggarap ladang itu. Entah siapa dan apa maksudnya, aku kurang begitu paham, karena siapapun dia sepertinya sengaja membantuku secara diam diam. Yang jelas, jika hari ini aku berhasil menggarap satu atau dua petak ladang, maka keesokan harinya akan ada tambahan satu atau dua petak lagi yang telah selesai dicangkul.

Di sela sela kesibukanku menggarap ladang, sesekali aku juga menyempatkan diri untuk memperbaiki pondokku. Sedikit demi sedikit, pondok yang semula tak layak huni itu kini mulai terlihat bersih dan rapi. Kubuat sekat sekat untuk memisahkan antara tempat kami tidur dengan tungku dapur. Dinding dinding papan yang semula keropos dan lapuk, sebagian sudah aku tambal meski cuma menggunakan bilah bilah bambu.

Short Story Kedhung Jati 4 : Pondok Kayu Di Tengah LadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang