12. Normal Day in Frist Day

110 16 2
                                    

Mata sipit dengan alis tebal itu melirik ke arah seseorang yang tengah duduk santai di depan komputer. Walaupun sejak tadi ada suara rengekan, suara kekehan, berubah lagi jadi rengekan, dan tiba-tiba tertawa keras, orang di depan sana terlihat tak peduli sama sekali. Jeiden tak berhasil memancing mata lain di ruangan ini supaya menoleh padanya.

”Nat.” Untuk pertama kalinya Jeiden memanggil terang-terangan, membuat suara gumaman terdengar tak peduli. ”Lo beneran gak tau gue ngomong apa aja sama Chaerra waktu mabuk?”

Helaan nafas terdengar bosan, dengan lirikan maut. ”Gue udah ngomong seratus kali enggak ya enggak sih. Lo langsung cabut gitu saja waktu dapet telfon, habis itu sembunyi di parkiran. Jangan bikin gue kesel deh.”

”Hessa?”

Memilih tak peduli, Jeiden kembali bertanya. Pemuda itu sedikit menyesal akibat tak mengajak William yang lebih tau kebiasaan mabuknya daripada harus bersama Nathan dan Hessa, dua orang yang ia anggap masih anak baru yang sok-sokan saja ikut ke club. Tapi lebih menyesal lagi kenapa ia bisa sampai mabuk?

”Dih, lo pikir kerjaan gue sama Hessa cuman ngurusin lo?” tanya Nathan kembali membuka berkas tak peduli. ”Hessa juga sibuk ngerengek gara-gara berantem sama Elia noh.”

”Beneran gak ada yang tau nih?” tanya Jeiden tak menyerah, masih memandang Nathan dari ranjang berharap.

Pemuda yang masih mengenakan kaos dan celana pendek santai itu menoleh malas. ”Kenapa sih? Lo kalau mau tau ya tinggal telfon Chaerra balik terus tanya apa susahnya?”

”Takut.”

”Anj-” Nathan mengumpat tertahan, tiba-tiba teringat sesuatu. ”Bentar! Lo gak lagi diputusin Chaerra kan?”

”Hah?” Jeiden ternganga. ”Gue pacaran aja enggak anjir.”

”Tapi emang pas gue lihat lo di parkiran lo udah nangis-nangis gitu sih, nyebutin nama Chaerra,” lanjut Nathan bergidik sendiri, ”jijik banget.”

”Gimana-gimana?” tanya Jeiden panik, duduk tegap menghadap Nathan. ”Gue nangis-nangis gimana?”

”Lo lihat Hessa nangisin Lia waktu mabuk? Persis itu,” jawab Nathan tak terlalu peduli. ”Huhuh Chaerra huhuh Chaerra,” lanjut pemuda itu meniru dengan gerakan mencibir.

Giliran Jeiden yang mengumpat refleks, menutup wajahnya dengan bantal tak habis pikir. Kedua kuping pemuda itu memerah, dengan wajah yang ia yakini sudah padam. Sejak kemarin, ia sudah mencoba mengingat ulang, kenapa ada riwayat panggilan Chaerra dua kali dalam ponsel. Yang pertama, gadis itu yang menghubunginya, dan yang kedua, Jeiden yang menelfon balik. Di antara keduanya pun, Jeiden tak inget apapun.

”Sumpah, gue lupa ngomong apa sama Chaerra.”

”Samperin anjir sampean, Chaerra juga gak bakal tiba-tiba gigit lo.”

”Dia tau gue mabuk aja kayaknya bisa langsung diterkam,” ujar Jeiden membayangkan ngeri sendiri, ”sumpah, walaupun cuman candaan, gue beneran takut sama tuh bocah.”

Nathan tertawa pelan. ”Haikal sama Rendra kalau tau tingkah lo udah beneran jadi ceng-cengan deh lo Jei.”

”Jangan ngasih tau siapa pun!” ancam Jeiden tajam. ”Beneran gak inget apa-apa anjir kalau udah keburu kobam.”

Cowok jangkung itu lebih dulu beranjak, mengambil jaketnya yang tergeletak di atas sofa. Masih dengan pandangan tajam menuju Nathan yang tampak sudah tidak peduli lagi, Jeiden berjalan pelan keluar dari kamar pemuda ini untuk pulang di pagi-pagi buta seperti ini. Kepalanya terasa lebih ringan daripada pertama kali ia bangun dini hari tadi, pengar di hidungnya juga sudah mulai mereda, tapi tak sedikit pun ingatan Jeiden yang kembali dengan benar.

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang