O3 : Pria Dari Pinggiran Kota [Kilas Balik]

36 8 78
                                    

Whistle.

Sebenarnya ia tak begitu menyukai nama itu. Orang-orang kerap menertawainya dan mengejek namanya, berkata jika itu adalah sebutan yang aneh.

Whistle tidak terlalu ingat juga bagaimana masa kecilnya bermula. Siapa orang tuanya, atau sosok yang membawanya untuk hidup di jalanan kota yang ramai dan dipenuhi kekejaman dunia. Whistle hanya ingat, sejak kecil memang seperti inilah hidupnya. Hidup di jalanan, dicaci maki, dipanggil 'pencuri' oleh hampir seisi kota dan tak jarang menerima kekerasan fisik.

Tidak ada yang mengajari Whistle tentang apa itu tata krama dan peraturan. Whistle hidup dengan caranya dan tidak ada yang boleh menggugat itu.

Sejak kecil ia hidup sebagai berandalan, pencuri dan semua pekerjaan kotor yang dilakoni hanya untuk sesuap nasi. Setelah ia tumbuh menjadi lelaki sebesar ini, caranya hidup tak jauh berbeda. Whistle masih melakukan pencurian dan penipuan untuk mendapat uang, bedanya, yang dia curi kini lebih banyak sampai bisa membuatnya tidur di tempat yang lebih layak.

Whistle menyadari, dia yang lahir tanpa memiliki apa-apa tidak akan bisa memiliki apa-apa jika dia tidak mencurinya dari orang lain. Whistle tidak merasa bersalah ataupun keberatan jika dicap sebagai penjahat, lagipula begitulah cara dunia bekerja. Yang miskin akan mengambil dari yang kaya, yang kaya akan mengambil dari yang lebih kaya. Semua itu dilakukan hanya untuk tetap bertahan hidup.

"Hei, hanya ini yang kau punya?"

Hari ini seperti biasanya, Whistle bangun pagi dan mendapati tempatnya menetap yang tak lagi menyimpan cadangan makanan. Ia kelaparan, tak memiliki sepeser pun uang. Alhasil, memalak anak sekolah yang lewat di dekat tempatnya tinggal adalah pilihan terakhir dan tercepat.

Anak laki-laki yang mungkin duduk di bangku sekolah menengah pertama itu tampak sangat ketakutan. Dia bahkan tak berani menatap mata Whistle yang mengintimidasinya. Anak itu mengangguk dengan ketakutan yang berusaha ia tahan. "A-aku hanya memiliki itu, Paman."

"Paman?" tanya Whistle dengan nada sinis. Dia tertawa konyol atas panggilan yang diberikan anak itu padanya. "Ini sudah keberapa kali kita bertemu dan kau masih tidak bisa memutuskan panggilan apa yang pantas untuk kau berikan padaku? Apa aku terlihat setua itu?"

Anak itu hanya diam, dia gugup dan tak berani menjawab meski hanya dengan sesingkat kata 'iya' atau 'tidak'. Gelagatnya yang memuakkan membuat Whistle berdecak kesal. Emosinya yang tak stabil sejak semalam membuatnya dengan mudah memukul kepala anak laki-laki itu dan membentaknya. "APA AKU TERLIHAT SETUA ITU!?"

"Ti-tidak," jawab anak itu dengan cepat meski dengan terbata-bata.

Whistle terdiam sejenak sembari memegangi kepalanya. Berteriak dengan tiba-tiba seperti tadi membuat kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Itu pasti efek banyaknya alkohol yang dia minum semalam. "Sial," ujarnya pelan, mengumpat.

Whistle menatap anak laki-laki yang masih berdiri ketakutan di depannya. Semua terasa semakin menyebalkan. Raut anak itu, juga dengan lapar dan sakit kepala yang dirasakannya. Whistle bertanya, "Hei, siapa namamu?"

"Na-namaku Reulla," jawab anak laki-laki yang bernama Reulla itu.

Mendengar nama yang terdengar unik di telinganya, Whistle tertawa kecil, mengejek. "Reulla?" ulangnya dengan nada bertanya, "siapa yang memberimu nama aneh itu?" lanjutnya.

"Ibuku," jawab Reulla. Dia masih belum berani mengangkat kepalanya. "Tapi itu nama yang indah bagiku," lanjut anak itu, menyanggah ucapan Whistle yang berkata kalau nama yang diberikan ibunya itu adalah nama yang aneh, meski sebenarnya Reulla sendiri pun tak memungkirinya.

Whistle hanya terdiam, menatap Reulla dengan alis yang terangkat sebelah. Sebenarnya dia cukup kesal sebab ucapannya ditentang, tapi dia tidak mau menambah lama durasi dan membuat perutnya lebih sakit dari ini. Whistle berkata, "Yah ... aku tidak terlalu peduli dengan namamu, lagipula namaku juga agak aneh," ujarnya sembari berdiri lebih tegak. "Pergilah dan belikan aku sarapan dengan uang ini." Dia memberi perintah pada Reulla.

Seakan Reulla sudah tahu kalau akibat yang ia dapat jika membantah adalah amarah dari Whistle, tapi dia tak punya pilihan lain selain membela diri di situasi seperti ini. Anak laki-laki itu menjawab dengan ragu, "Ta-tapi, aku bisa terlambat."

Whistle mengangkat kedua alisnya, menertawakan jawaban yang korbannya berikan dengan raut setengah kesal. "Kau pikir aku peduli!?" tanyanya dengan suara keras dan tanpa kepedulian sama sekali. "Aku ingin sarapan dan belikan itu sekarang! Apa aku kurang jelas mengatakannya!?" tambahnya dan semakin membuat Reulla ketakutan.

Terlihat dia tidak punya pilihan lain selain menuruti perkataan Whistle. Reulla mengangguk kemudian berbalik untuk pergi. Tapi sebelum ia menjauh, Whistle menahan pundaknya dan berbisik, "Jangan coba-coba melarikan diri atau membangkang, ya ... aku bisa dengan mudah menangkapmu lagi." Whistle memberikan ancaman, dan tentu saja anak yang sudah diliputi ketakutan itu akan menuruti ucapannya tanpa berpikir lebih lama. Tentu saja yang Reulla utamakan saat ini adalah keselamatannya ketimbang apa pun, dia bahkan sepertinya sudah tidak lagi peduli jika terlambat atau tidak.

Dengan langkah terburu, Reulla meninggalkan Whistle. Whistle harap anak itu bisa melakukan tugas yang ia berikan dengan baik, sebab dirinya benar-benar butuh untuk mengisi perutnya saat ini.

"Aku mual," ujar Whistle tanpa bersemangat. Ia kembali ke tangga besi, kemudian duduk di sana dengan wajah lesu dan kepala yang disandarkan pada tiang tangga.

Whistle menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Pemandangan di depan kamarnya yang kumuh tidak bisa mengobati suasana hatinya yang memburuk. Bahkan mualnya semakin menjadi-jadi kala memperhatikan dinding besar di depannya yang membentuk gang kecil yang lembab dan kotor. Whistle menyesal, harusnya ia tidak tergoda oleh botol-botol alkohol dengan label minuman terbaik yang ditawarkan temannya di klub malam tadi, setidaknya dia bisa menyisakan sedikit uang untuk sarapan pagi ini.

"Huh ... mau bagaimana lagi? Alkohol memang terbaik," ujarnya kemudian, bertopang dagu sembari menghela napas jenuh. Di sela waktu menunggunya, Whistle bersiul santai. Kebiasaan yang dia lakukan kala tak ada apa pun untuk dikerjakan. Biasanya dia akan memainkan nada dari lagu yang sering diperdengarkan saat ini, tapi tak jarang juga Whistle akan menyanyikan lagu yang tak pernah ia tahu judulnya tapi begitu membekas di ingatannya dengan siulan yang halus seperti bunyi seruling itu.

Seperti reflek yang sarafnya keluarkan, lagu itu dimainkan lagi hari ini. Whistle tidak pernah mendengar nada itu seumur hidupnya, kecuali dari kotak musik yang dulu pernah ia miliki. Sekarang kotak musik itu sudah menjadi satu dengan tanah, terkubur sebab tak lagi berfungsi. Yang tersisa darinya hanyalah melodi yang selalu Whistle ingat, melodi yang terkadang ia nyanyikan tanpa sebuah rencana.

Whistle sering memikirkannya, mungkin saja kotak musik itu adalah hal terakhir yang ibunya berikan padanya sebelum ia dibuang ke jalanan. Tapi tetap saja, itu tidak ada artinya. Whistle selalu menganggap kalau orang paling jahat yang pernah ia temui di dunia yang kejam ini adalah orang tua yang sudah membuangnya. Apa pun yang mereka tinggalkan, baik itu kotak musik atau lembaran uang, itu tidak ada lagi artinya bagi Whistle.

Udara pagi di kota Addenhill semakin dingin, memaksa Whistle untuk beranjak dari sana. "Sial, apa sudah waktunya musim dingin?" tanya Whistle sembari menggerutu, ia mengusap-usap kulitnya yang merinding beku. Kemudian dia bergegas untuk kembali masuk ke kamarnya, lalu seseorang memanggilnya dari belakang.

"Apa kau sibuk?"

Whistle menoleh untuk melihat siapa yang berbicara, wajah dinginnya tampak tak berubah tapi alisnya perlahan naik satu sisi.

Bersambung.

WHISTLE : Park SeonghwaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora