♪ wildest dream - taylor swift ♪
✿happy reading✿Hujan yang tiba-tiba mengguyur kota, membuat Hanabi terjebak di udara dalam lingkup yang sama dengan laki-laki ber-hoodie hitam. Pada akhirnya Hanabi pasrah dengan rasa malunya yang kian membeludak lantaran harus berdiam diri lebih lama di depan Minimarket bersama Alby.
Hanabi tak mengira hujan akan turun malam ini, karena langit sore tadi nampak cerah. Maka dari itu, Hanabi pergi hanya bermodalkan sepeda tanpa payung atau jas hujan. Harusnya Hanabi menuruti perkataan Nata, sedia payung sebelum hujan.
"Eh, Kak Alby," panggil Hanabi, setelah lama membisu di samping laki-laki permen tersebut.
"Ya?" Alby menyahutinya.
"Makasih," cetusnya tanpa berani menatap langsung sang lawan bicara.
"Untuk apa?" Alby sengaja memperpanjang obrolan, padahal ia jelas tahu maksud Hanabi yang berterima kasih untuk belanjaan yang dibayarnya.
"Untuk ini." Hanabi mengangkat sedikit kantong kreseknya yang sejak tadi di sembunyikan di belakang tubuh lantaran malu, seolah itu adalah aibnya. "Nanti aku ganti uangnya ya, Kak?"
"Gak perlu. Kamu gak perlu ganti uangnya."
"Enggak, Kak. Aku ganti." Hanabi kali ini berani mengangkat kepalanya untuk melihat wajah sang pemuda.
Alby sempat terkekeh sebelum menjawab, "Oke, kalo kamu ngotot."
Hanabi terlihat berbeda dari biasanya. Perempuan itu kerapkali menghindari pandangan matanya ketika berbicara. Padahal pertemuan mereka tanpa disengaja ini membuat Alby bersyukur. Sebab, sejak kemarin Alby selalu mengingat perempuan manis tersebut. Siapa yang menyangka mereka akan bertemu lebih cepat dari dugaannya?
Sang hujan berhak mendapatkan terima kasih dari Alby. Karenanya, Alby menunda kepulangannya dan berdiam diri bersama Hanabi. Namun sayangnya, Hanabi terlihat tidak nyaman berada di dekat Alby. Apakah sang puan tidak menyukai pertemuan ini?
"Hanabi." Kali ini Alby yang memanggilnya.
Hanabi menoleh sekilas sebelum kembali pada hujan sebagai objek pandangnya sejak tadi. "Iya?"
"Saya senang bertemu kamu disini."
Untuk beberapa saat Hanabi tidak berkedip sama sekali. Isi kepalanya berputar untuk mencerna perkataan Alby barusan. Lalu, Hanabi juga memastikan bahwa suara Alby lah yang mengetuk gendang telinganya saat ini.
Senang? apa arti yang sebenarnya?
"Maksud kak Alby apa?" Mata bulat Hanabi, yang iris matanya bagaikan madu itu bertemu dengan sepasang retina yang tengah memandangnya.
Alih-alih menjawab langsung, Alby malah tersenyum kian lebar terhadap ekspresi Hanabi yang kebingungan. "Jika bisa, saya ingin bertemu kamu sesering mungkin."
Hanabi hendak meresponnya kembali, tapi ponsel milik Alby mendadak bergetar di saku celananya. Kemudian, Alby meminta izin untuk menerima panggilan dari seseorang.
"Hallo?"
"...."
"Bentar, nunggu dulu hujannya reda."
"...."
"Eumm ... Kayaknya gak bakalan lama."
"...."
Alby melirik Hanabi dengan ujung matanya. "Gak usah, tunggu aja. Gue bentar lagi kesana."
"...."
"Oke."
Usai Alby memutuskan sambungan telepon, Hanabi angkat bicara lagi sambil menyebarkan pandangannya ke parkiran yang hanya terdapat sepedanya saja. "Kak Alby pulang naik apa?"
"Saya pulang bareng teman." Alby menjawab sambil menunjuk sebuah gedung yang tak terlalu besar, tepat berada di seberang jalan. "Disana ada tempat teman saya. Saya harus mampir dulu kesana buat anterin titipan mereka."
Pandangan Hanabi berusaha menjangkau sebuah bangunan yang diluarnya terdapat lampu dengan pencahayaan redup. Sekilas tempat itu seperti sebuah cafe atau tempat nongkrong yang tertutup, tapi di depannya terdapat tulisan studio musik. Lalu, Hanabi manggut-manggut seraya bergumam samar.
"Kamu pulang sendiri?" Kali ini Alby yang bertanya.
Hanabi mengangguk santai. Kini ia lebih bisa menerima penampilan dirinya sendiri di depan Alby. Sebab, tak ada gunanya jika terus-terusan merasa rendah. Masa bodoh dengan kenyataan bahwa Alby akan ilfeel terhadapnya. Itu hanya asumsi otaknya saja. Hanabi tak pernah tahu perasaan Alby yang sebenarnya.
"Aku pulang sendirian." Hanabi menunjuk sepeda hitam milik Agi. "Naik sepeda."
"Eumm ... Mau saya antar pulang?" tawar Alby, tanpa rencana sebelumnya.
Spontan Hanabi menggeleng. "Gak usah, Kak. Rumah aku deket kok."
Alby mengusap tengkuknya dengan kikuk. Meskipun penolakan Hanabi terdengar halus, tapi bagi Alby tetaplah penolakan. Ia merasa tak enak hati, mungkin saja dirinya sudah dicap sebagai ahli modus oleh perempuan itu. Selanjutnya, suasana mereka dilingkupi oleh lengang. Hanya terdengar gemerisik hujan yang menyapa setiap telinga.
Bagi Hanabi situasi ini membuatnya tidak nyaman dan terasa canggung. Ia bingung, apa yang harus dikatakan lagi? Sedangkan kepalanya tak bisa berpikir secara rasional ketika berada di dekat Alby. Malah gugup yang terus-terusan menggerogoti kepercayaan dirinya.
"Untuk semalam, maaf karena saya tiba-tiba telepon kamu tanpa ada kepentingan yang jelas," ujar Alby, memecahkan kebisuan pada keduanya.
Hanabi menoleh, bersamaan dengan mata Alby yang ikut mengarah padanya, hingga pandangan keduanya saling menyapa lagi. Sebelum hanyut terlalu dalam, Hanabi lekas tersenyum dengan sengaja dan mengalihkan matanya. "Gapapa, kok. Santai aja, Kak."
Alby masih memperhatikan wajah Hanabi dari arah samping. Matanya yang terus berkedip-kedip dalam tempo yang cepat dari biasanya, membuat Alby merasa gemas dan spontan terkekeh pelan. "Sebelumnya, saya minta maaf, saya gak janji gak bakalan ganggu kamu lagi lewat telpon atau ... lewat pesan."
Hanabi menahan kedipannya beberapa saat. Apa itu artinya Alby akan terus menghubunginya? Tanpa disuruh pun, Hanabi akan terus menerima panggilan serta membalas pesan dari Alby. Hanabi mengulum senyumnya, berusaha untuk tidak memperlihatkan kegembiraannya secara jelas di depan laki-laki permen tersebut.
"Maaf, saya gak bawa permen matahari, soalnya saya gak tahu kita bakalan ketemu di tempat ini," celetuk Alby tiba-tiba dengan nada sedikit kecewa.
Sontak Hanabi tertawa kecil, bagaimana bisa Alby terpikirkan soal permen tersebut? Padahal Hanabi tak pernah memintanya untuk selalu membawa permen matahari.
"Kak Alby bercanda?" tanya Hanabi di sisa-sisa tawanya. "Dari tadi kak Alby terus-terusan minta maaf." Rupanya Hanabi telah kehilangan rasa gugup dan kakunya. Buktinya, kini ia lebih santai di dekat Alby.
"Saya gak bercanda soal minta maaf." Dengan wajah polosnya Alby menggeleng. Ucapannya berlanjut, "Saya tulus minta maaf sama kamu. Saya juga ingin selalu memberikan permen itu sebagai tanda pertemuan kita."
Hanabi manggut-manggut paham. "Sepenting itu ya, Kak?"
Sebenarnya Hanabi bertanya tanpa sadar, tapi hal itu malah menjadi boomerang untuk hatinya sendiri setelah mendapatkan jawaban dari Alby.
"Ya, karena pertemuan kita itu penting, makanya saya ingin membuatnya selalu berkesan."
Jawabannya sesederhana itu, tapi mampu memporak-porandakan hati Hanabi yang sebelumnya adem ayem. Bagaimana ini? seluruh tubuh Hanabi terasa hangat hingga pipinya memerah tanpa bisa dicegah. Jantungnya jedag-jedug tak karuan. Detik itu juga, Hanabi tak berani memperlihatkan wajahnya pada Alby.
Sadarkah Alby terhadap perkataannya sendiri?
✿to be continued✿
20 Oktober 2023
syndrumy

YOU ARE READING
Time On Wednesday
General Fiction"Jika kamu adalah sebuah buku, maka akan aku baca berulangkali tanpa pernah merasa bosan. Sebab, kamu adalah sejarah singkat yang indah dan melekat." -Hanabi Nibiru