BAB 3

35.9K 2.5K 22
                                    

Senandung merdu mengusik telinga pendengaran Elizabeth. Rasanya dia baru saja memejamkan matanya dan suara senandung itu membuatnya terganggu, dia ingin beristirahat dengan tenang jadi dia tidak butuh senandung merdu yang dapat menjadi pengantar tidur itu.

Dengan ekor matanya Elizabeth melihat di atas bebatuan sungai tampak seorang gadis dewasa dengan surai peraknya duduk di sana, duduk membeakanginya sehingga Elizabeth tidak bisa sama sekali melihat wajah si empunya suara. Surai perak itu sangat panjang hingga menyentuh bebatuan tempat gadis itu duduk, namun satu hal yang mengganjal, gadis di sana terlihat bersinar dan dipenuhi aura magis yang membuat Elizabeth tak berani mendekat.

Senandung itu terhenti yang membuat tempat sepi sunyi, suara aliran sungaipun seakan enggan untuk terdengar dan mendadak tenang tanpa riak. Elizabeth meneguk ludahnya, apakah gadis itu menyadari diperhatikan olehnya? Pikir Elizabeth saat itu juga.

"Hidup tidak selamanya manis apalagi pahit." suara itu terdengar sangat lembut namun tegas.

"Kau mengerti, Elizabeth." Saat mengucapkan itu sosok itu menoleh ke arahnya namun hanya sinar terang yang Elizabeth lihat. Saat matanya terbuka lagi, sinar matahari menusuk mata hingga membuat Elizabeth memicingkan matanya. Saat dia sadar akan matahari yang sudah berada di atas kepala membuat Elizabeth mengaduh pelan. Dia benar-benar tidak menyangka bisa tidur selama itu, padahal rasanya dia baru saja tidur.

Langkah kaki Elizabeth terhenti di depan sungai. Dia menatap pantulan dirinya yang terlihat jelas. Bekas lukanya mengering namun masih terasa perih, luka di pipinya benar-benar terlihat sangat mengerikan. Dengan sedikit ragu Elizabeth membasuh wajahnya dengan air, rasa perih terasa tak kala air yang dingin menyentuk luka di wajahnya.

Dipikiran Elizabeth sekarang hanya dia harus segera pulang ke rumah, harus segera pulang. Saat itu juga Elizabeth segera bertransformasi menjadi sosok serigala. Dia berlari dengan kencang. Tak butuh waktu lama untuk Elizabeth sampai ke rumahnya dengan tubuh yang jauh lebih baik dari kemarin. Dia menatap pintu rumahnya dari kejauhan. Tertutup rapat dan tampak tidak ada kehidupan di sana.

Tubuh Elizabeth kembali bertransformasi ke sosok manusianya saat dia tepat berada di depan pintu rumahnya. Tangannya memegang knop pintu dengan ragu, dia perlu menenangkan jantungnya yang memompa dengan cepat, terlalu cepat hingga di telingannya hanya terdengar suara jantungnya.

"Kamu pasti bisa Eliz." ucapnya pada diri sendiri sebelum mengembuskan napasnya kemudian memutar kenop pintu rumahnya. Saat dia melangkah masuk dan menutup pintu rumah suara itu membuat Elizabeth membatu.

"Kau mau jadi apa semalaman tidak pulang dan baru pulang sekarang?" cibiran itu membuat Elizabeth menggigit bibir bawahnya.

"Mau jadi apa jika terus seperti ini, ah?!"

"Lalu bagaimana dengan dirimu, bu?" Elizabeth balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari ibunya itu.

"Kamu bertanya bagaimana denganku?" Raut wajah Jane tampak penuh amarah. Dia mengambil vas bunga yang berada di sampingnya. "Kau kira karena siapa hidupku hancur." katanya sambil melempar vas itu ke samping tubuh Elizabeth kemudian pecah membentur tembok.

"Kau tahu bagaimana hancurnya aku karena ayahmu itu meninggalkan kita yang seperti ini?"

"Lau bagaiamana dengan aku yang kau terlantarkan sejak saat itu? Aku selalu melakukannya seorang diri, bukankah aku anakmu?"

Jane menggeleng dengan cepat. "Tidak, aku hanya membutuhkan John di sini, aku hanya membutuhkan dia." Katanya dengan cepat. "Jika bukan karena kamu, dia pasti masih di sini, ya dia pasti akan masih ada di sini bersamaku."

Selesai meracau seperti itu Jane terdiam, matanya memandang nakas di sampingnya yang masih penuh dengan barang-barang lainnya dan dengan cepat dia melempar semua itu ke arah Elizabeth. "Benar, jika bukan karena kamu yang meminta hadiah pada suamiku, dia akan masih ada di sini!"

I'm (not) Alpha mateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang