Norma & Agama - 01

360 32 5
                                    

Vespa Sprint S 159 I-GET ABS melaju pelan membawa dua sejoli yang sudah empat tahun lebih menjalin kasih ke tempat favorit mereka. Pantai Seling Ombo.

Pasir putih dengan air laut yang jernih. Panoramannya akan memesona ketika senja tiba. Itulah penantian mereka. Mega matahari dari ufuk barat. Senja.

Bergandengan tangan menyusuri bibir pantai, mereka saling melempar senyum dan candaan. Melupakan orang-orang sekitar yang datang dengan tujuan sama. Menanti senja.

Bicara soal mereka berdua, tidak sedikit yang mengatakan mereka cocok untuk bersama. Cocok sebagai sahabat atau pasangan? Entahlah. Intinya mereka tampak serasi saat bersama. Mungkin berkat chemistry mereka yang begitu kuat?

Tapi, mustahil jika mereka cocok sebagai pasangan. Karena apa? Benteng pembatas mereka begitu tinggi. Ralat, bukan begitu lagi malah sangat-sangat tinggi.

"Besok mau aku temenin?"

"Mau, kalau kamu gak sibuk"

"Buat kamu pasti aku usahain"

Yang di sisi kanan menatap tidak suka. "Kamu udah sering minta izin cuma buat nemenin aku doang, jangan di paksa kalau kamu beneran sibuk"

"Gak papa sayang, bos aku baik kok"

"Yaudah, terserah kamu deh"

Cornelia Syafa Vanisa. Penyanyi muda kelahiran dua ribu satu. Bakatnya di bidang dunia tarik suara mendapat banyak dukungan baik dari keluarga, teman maupun pemilik hatinya. Gita Sekar Andarini.

"Coba kamu berdiri situ, anglenya bagus"

"Kita udah sering foto di situ sayang"

"Buat konsumsi pribadi, biar koleksi foto kamu bertambah. Lumayan kan bisa jadi cuan nanti" canda Gita sambil membersihkan lensa kameranya.

"Heh, kamu ini"

"Aw, sakit-sakit" ringis Gita saat lengannya di cubit.

"Makanya jangan ngeselin"

Gita memasang wajah memelas, bukannya mereda cubitan Cornelia malah semakin kencang. Lewat cubitan itu, Cornelia melampiaskan rasa kesalnya pada pacarnya yang ngeselin itu.

"Bercanda sayang. Ampun"

Merasa puas, Cornelia pun menuruti permintaan kesayangannya. Kaos putih berlengan pendek yang Gita pakai memperlihatkan dengan jelas seberapa merah lengannya. Perasaan bersalah menghinggapi hati Cornelia. Apa ia terlalu kencang mencubit Gita?

Cornelia mengusap bekas cubitannya. "Sakit?"

Gita menggeleng. Sejujurnya lengannya terasa panas. Tapi, Gita tidak mau membuat Cornelia semakin merasa bersalah.

"Beneran?"

Menangkup wajah terkasihnya, ditatapnya Cornelia dengan lembut. "Beneran sayang. Ini cuma merah biasa kok, nanti juga hilang sendiri"

"Kamu gak bohong kan?"

"Enggak sayang" jawab Gita meyakinkan Cornelia bahwa dia memang baik-baik saja.

***

Cornelia berdiri di samping motor Gita yang terparkir di halaman depan masjid. Menunggu Gita melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Matanya menatap lurus sosok penjaga hatinya. Perempuan yang ia temui lima tahun lalu di festival musik itu begitu serius memanjatkan doa. Di detik yang bersamaan dengan Gita, Cornelia memejamkan kedua mata. Ikut berdoa dalam hati.

Tes

Buliran bening mengalir membasahi kedua pipi Cornelia. Sekali lagi ia memandang ke arah yang sama. "Kita bisakan kayak gini selamanya? Aku takut saat dimana kita berpisah, aku belum siap"

Melihat Gita selesai berdoa, Cornelia segera menghapus jejak air matanya.

"Maaf nunggu lama"

"Gak perlu minta maaf, setiap aku ke gereja kamu juga nunggu lama kan" ucap Cornelia memberikan senyuman termanisnya.

Gita menyunggingkan senyum. Betapa beruntungnya dia memiliki seorang Cornelia di hidupnya. Meski ada perbedaan dan persamaan yang menjadi garis pembatas di hubungan mereka.

"Apa suatu saat gue bisa mengikhlaskan dia?" batin Gita memandang Cornelia.

***

Rumah yang seharusnya menjadi tempat istirahat justru membuat Cornelia tertekan. Pertanyaan 'habis darimana?' sampai permintaan untuk segera menyudahi hubungannya dengan Gita selalu mengganggu Cornelia.

"Cornelia dengerin papa. Mau sebesar apapun usaha kalian, kalian berdua gak akan pernah bisa bersama" ucap papa Cornelia hendak mencegah anaknya.

Cornelia abai, ia mempercepat langkahnya menaiki tangga. Ia tau menjalin hubungan dengan Gita selama empat tahun ini adalah sebuah kesalahan. Melanggar norma dan agama. Tetapi, kesalahan inilah yang membuat ia bahagia.

Bahagia karena Gita selalu ada dan mendukungnya dalam keadaan apapun. Orang yang paling pertama mendengarkan ceritanya berjam-jam, merelakan bajunya basah terkena air matanya, dan bersedia meminjamkan bahu kokohnya untuk bersandar tanpa ia minta terlebih dahulu.

Gagang pintu Cornelia genggam. Belum ada niatan untuk menarik ke bawah gagang tersebut.

Melepas genggaman pada daun pintu, Cornelia mendekati pegangan tangga. Sedikit menundukkan kepala. Ia perlu menegaskan ini lagi dan lagi pada papanya.

"Stop ikut campur kehidupan aku, Pa"

"Papa berhak ikut campur. Kamu anak papa" ucap Papa Cornelia secara tegas.

Brak

Pintu di tutup kasar sebelum perdebatan kepala keluarga dan sang anak terulang. Lelaki paruh baya yang Cornelia panggil dengan sebutan papa memandang sendu lantai dua, dimana letak kamar anak semata wayangnya berada.

"Papa mengkhawatirkan masa depan kamu nak, papa ingin yang terbaik buat kamu. Papa takut hubungan yang sekarang kamu jalani jadi masalah di kemudian hari" gumam papa Cornelia.









Bersambung

Norma & AgamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang