Tigo/Tiga

26 8 0
                                    

"Ayolah, Atma! Aku penasaran banget nih sama isi tasnya," Danu merengek seperti anak kecil seraya duduk di mejanya yang bersebelahan dengan meja Atma.

Atma yang sedang mengolah nilai siswa dan siswinya menghela nafas kasar seraya membenarkan posisi kacamata anti radiasinya yang merosot. Kemudian dirinya meraih tas hitam yang dibawanya. Dengan perlahan-lahan, Atma membuka retsleting yang hampir mengitari tas hitam itu dan perlahan ia membuka tutup tasnya.

Kecapi kawih berwarna hitam yang cantik dan elegan dengan ukiran-ukiran detail di bagian pinggirannya yang berwarna emas. Gambar bunga teratai yang anggun turut menambah keindahan dari alat musik khas tatar Pasundan itu. Atma memetik senar kecapi satu per-satu, terlihat asal-asalan akan tetapi suaranya merdu dan enak didengar.

Ketika ia melirik sorot mata Danu, ia melihat sorot mata berbinar dengan perasaan terpukau didalamnya ketika melihat pinggiran kecapi sebelah kiri. Terlihat ukiran bergambar kayon, dan tergambar pula ukiran Kamajaya dan Kamaratih di sebelah kanan dan kiri kayon tersebut.

Danu mendongak, kemudian berkata, "Aku mau menyentuh dan memainkannya sepertimu."

"Kamu bisa?" tanya Atma.

"Ajari aku," balas Danu.

Atma terdiam sejenak kemudian mengeluarkan kecapi itu dari tempatnya. Entah apa yang disembunyikan dalam tas hitam itu, Atma dengan cepat menutup kembali tasnya. Danu dapat melihat beberapa carik kertas dalam tas itu, mungkin buku notasi atau buku panduan yang berserakan karena rusak klipingnya.

Sekarang Danu memangku kecapi itu. Matanya berlabuh pada tulisan Ki Lungit Argonojoyo dan Nyi Dewi Asmorowati pada ujung kanan bawah kecapi itu. Lalu dibacanya dengan nyaring. Danu bertanya, "Siapa itu?"

Atma menjawab singkat, "Kamu gak perlu tau."

Danu memetik senar kecapi itu kemudian meringis seraya bilang "Aw". Atma terkekeh mendengarnya. Danu kembali bergeming "Kukira senar ini sama seperti gitar, ternyata..."

"Itu bukan senar, Danu. Itu kawat," sambar Atma.

"Bagaimana tangan lentikmu memainkan benda keras ini?" Danu mengembalikan kecapi kawih milik Atma dengan muak.

Atma mulai memetik-metik senar besar, kemudian merembet dengan pola melodi yang sama ke senar yang paling kecil, yaitu senar yang paling keras untuk dipetik. Atma berkata, "Kecapi kawih adalah benda lembut."

"Apa?" Danu kaget mendengar perkataan itu. "Pujangga jaman dulu menentengnya mendaki gunung dan melewati lembah, mana mungkin mereka memegang benda lembut," lanjutnya.

"Kamu pernah mendengar orang yang memainkan kecapi dengan cara dipukul?" tanya Atma.

"Bukannya kecapi alat musik petik?" jawab Danu dengan pertanyaan lagi.

"Itu artinya, alat musik ini adalah alat musik yang lembut. Karena tidak memakai kekerasan. Apa yang akan terjadi jika kamu memukul kecapi?" ujar Atma memberi pertanyaan pada akhir penjelasan singkatnya.

"Rusak?" jawab Danu ragu-ragu.

"Itu artinya kecapi kawih adalah benda rapuh," balas Atma dengan senyum ramahnya, namun terasa dingin untuk Kamandanu yang mendidih. Lagi-lagi ia kalah dalam perdebatan kecil dengan wanita cerdik itu.

Bel jam kedua berbunyi, Atma harus segera bergegas memasuki kelas yang jadwalnya diisi oleh dirinya. Atma segera meraih buku absen dan buku nilai di mejanya kemudian memasukkan ke bagian depan tas hitam tempat kecapinya itu mendekam. Ia menggendong tas itu di sebelah pundaknya kemudian menoleh sebentar ke arah Danu dan mengucapkan permisi. Setelahnya iya berlenggang pergi meninggalkan ruang guru dan isinya.

Bumi Arcapada (Slow Up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang