Halaman enam

792 110 14
                                    

"Makan dulu, Rin."

Aku membuka mulut menerima suapan dari tangan kak Sae, dia dengan telaten mengurusiku seharian penuh karena hari ini adalah hari minggu. Bukan nya tidak punya pekerjaan, sebenarnya kak Sae punya janji dengan temannya tapi dia sengaja menunda janji itu untuk mengurusiku.

Sudah pernah ku bilang kan? Kalau aku hanya menjadi beban kak Sae.

"Kak, nanti kalo gue udah sembuh, gue mau main gitar sambil nyanyiin lo lagu sama kayak lo yang selama ini udah main gitar dan nyanyiin lagu buat gue." Aku berkata dengan mulut penuh onigiri.

"Siap bosku, atur aja nanti atur."

Aku terkekeh pelan.

"Kak," Panggilku lirih dengan tangan yang terus memegangi dada sebelah kiri.

Sesak. Sakit. Menyiksa. Aku sampai tidak sadar dengan perubahan raut wajah kakak yang cemas setengah mati. Aku mendadak merasa sakit luar biasa di dada sebelah kiriku, sepertinya jantungku yang bermasalah.

"Bentar, gue panggilin dokter dulu!"

Kak Sae menekan tombol merah di belakang kasurku. Tak lama kemudian dokter dan suster datang, lalu mereka segera mengecek keadaanku.

Hal terakhir yang ku lihat sebelum pandangan mulai menggelap adalah kakak yang di minta suster untuk menunggu diluar. Samar-samar aku melihat wajah kakak menoleh ke arahku seolah berkata semua akan baik-baik saja, seolah dia sedang menguatkan diriku padahal aku melihatnya dengan samar.

.

.

Tiga puluh menit kemudian, dari sudut pandang Itoshi Sae.

Setiap hari aku memikirkan Rin.

Ketika makan, mandi, beberes rumah, sekolah bahkan saat sparing dan tanding pun aku masih memikirkan Rin adikku.

Jika kalian bingung mengapa aku selalu memikirkan Rin, tentu saja aku memikirkannya.

Hanya dia satu-satunya keluarga yang ku punya. Saat tidak ada Papa Mama, hanya Rin yang menemani hari-hariku yang suram. Aku telah mengenalnya sejak dia lahir, dia mengenalku setelah dua tahun aku lahir, kami saling mengenal sejak dulu. Sejak kecil.

Kami tumbuh bersama, tertawa bersama dan menangis bersama.

Lalu bagaimana aku bisa tak memikirkannya?

Ketika kau hidup bersama orang yang selama ini telah menemanimu, lalu kau sadar bahwa kau bisa kehilangan dirinya kapan saja. Meninggalkanmu dalam kesendirian, tidak bisa tertawa bersama lagi, tak bisa menangis bersama lagi.

Kau tidak punya alasan lagi untuk pulang lebih cepat karena ada seseorang yang menunggumu di rumah. Kau tidak punya teman yang akan menemanimu pulang dan pergi dari sekolah lagi. Dan tidak akan ada lagi teman yang akan memelukmu ketika kau sedang terpukul.

Sebelumnya saat aku kehilangan banyak orang, Rin akan selalu ada di sampingku, memelukku dengan hangat. Namun bila dia pergi, siapa yang akan berada di sampingku dan memelukku dengan hangat seperti yang Rin lakukan? Kurasa tak ada.

Perasaan cemas, khawatir dan gelisah sedari tadi menggerogoti dadaku, aku takut sekali kalau adikku kenapa-napa. Beginilah setiap hari, aku selalu di liputi perasaan takut akan keadaan adikku setiap harinya.

Bila hari ini dia baik-baik saja, apakah esok hari akan sama?

Bila hari ini dia kembali merasa sakit, apakah esok akan semakin sakit?

Pikiran seperti itu selalu membuatku cemas, bukannya tidak mau berpikir positive tentang Rin tapi setiap nafas yang dia hembuskan selalu membuatku khawatir, entah mengapa.

Sejak 30 menit lalu aku tidak henti bolak-balik di depan pintu ruangan adikku.

Kenapa dokter lama sekali memeriksanya?

Apakah adikku akan baik-baik saja?

Ataukah Rin kembali menerima penyakit baru?

Tak lama pintu terbuka, dokter pun keluar dan hatiku berdebar semakin kencang. Pikiran buruk semakin deras muncul di pikiran, membuatku takut mendengar penjelasan dokter selanjutnya.

Lelaki paruh baya itu mengajakku untuk bicara di ruangannya. Aku mengekorinya dan melirik Rin yang masih tertidur damai di atas kasurnya.

"Saya ada dua kabar tentang adikmu, pertama adalah kabar baik dan kedua kabar buruk. Kamu mau tahu yang mana dulu?"

Karena aku tidak mau mendengar kabar buruk tentang adikku jadi aku memilih kabar baik dulu.

"Kabar baiknya penyakit adikmu yang enam bulan lalu dia dapatkan kini perlahan sudah mulai hilang, ternyata obat-obatan dari rumah sakit membantu mempercepat kesembuhannya. Itu menjadi awal yang bagus untuk adikmu,"

Aku senang mendengarnya, sangat senang. Perasaan senang dan lega yang mendadak menyerang hatiku bagai seluas samudera, aku seolah diberi setitik harapan oleh Tuhan untuk kesembuhan adikku.

Namun masalahnya, kabar buruknya ... aku tidak siap mendengarnya.





"Dan kabar buruknya adalah tubuh Rin semakin melemah karena penyakit kardiomiopati-nya. Secepat mungkin dia butuh pendonor jantung karena obat-obatan dan alat-alat medis tidak lagi berguna untuk jantungnya. Bila kita tidak segera mendapatkan pendonor jantung untuk Rin, saya tidak bisa menjamin keselamatannya."

Nafasku tercekat, duniaku seolah runtuh seketika saat dokter menjelaskan itu.

Baru saja aku merasa senang dan lega tapi aku kembali di hantui oleh perasaan cemas dan gelisah.

Mengapa Tuhan seolah tidak membiarkanku mencecap indahnya kebahagiaan lebih lama?

Adikku, rumah satu-satunya yang ku punya, harapan satu-satunya yang aku miliki, kenapa semua ini terjadi?

Kenapa harus Rin?

TUNA DAKSA [ Itoshi Brothers ] ✔️Where stories live. Discover now