Epilog

18.1K 1.3K 61
                                    


 "Alana, Saturday morning again here can, no?" Michelle, teman sekelas Alana yang warga asli Singapura merepet dengan logat Singlish khasnya, memastikan Alana bisa mengerjakan tugas bersamanya hari Sabtu. Mereka baru saja keluar dari perpustakaan, mengerjakan riset untuk tugas mereka selanjutnya.

"Here again? At the library?" Alana memastikan. Michelle mengangguk

"Can, lah," jawab Alana santai. "Now you go, you have part time at 4, no?"

"Ah, ya!" Michelle menepuk kepalanya sambil melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 15.45, artinya Michelle sudah harus berada di kafetaria untuk menjalankan shift malamnya dalam waktu 15 menit. "See you, Al!"

"Bye, Michelle." Alana melambaikan tangannya ke arah Michelle yang berlari tergopoh-gopoh menuju kafetaria. Melihat punggung temannya itu menjauh, Alana pun mengambil ponselnya di sakunya. Cukup enam bulan tinggal di Singapura untuk membuat lidahnya fasih bicara Singlish. Ia bertanya-tanya apakah Satria di Singapura dulu bisa bicara Singlish sefasih Michelle.

Ah, Satria lagi.

Alana melirik smartwatch pemberian Satria yang kini melingkar di tangan kirinya setiap hari. Hari ini ia sudah berjalan enam ribu langkah. Benar kata Satria, di sini, saking seringnya jalan kaki, ia merasa lebih sehat. Ia pun keluar dari pintu dan memandangi pelataran NUS Central Library yang dipenuhi dengan mahasiswa yang lalu lalang. Sepertinya tadi pagi Satria mengirimkan pesan ke ponselnya, dan ia belum mengeceknya lagi. Kadang ia masih berhubungan dengan Satria, walau lebih banyak melalui grup kantor. Biasanya Satria akan mengirim foto progres konstruksi bangunan yang dirancang Alana, sementara Alana mengirim foto-foto bangunan menarik yang ditemuinya di Singapura. Sambil berdiri di pelataran depan perpustakaan, ia mengambil ponselnya dan membaca pesan di sana.

7.23

Satria: Kuliah full hari ini?

Satria: Hari ini mau ngapain?

Alana: Kuliah sampai jam 2. Terus mau ke Central Library aja nugas.

Alana: Kenapa?

Satria: Gpp nanya doang.

15.27

Satria: Masih di perpus?

Alana mengerutkan keningnya. Delapan belas menit yang lalu. Tumben banget nanya-nanya, japri pula. Jari Alana mengetik balasan.

Alana: Baru mau balik.

Dengan segera, pesan di layar ponsel Alana langsung berubah menjadi centang biru. Satria mengetik pesan.

Satria: Singapur hari ini cuacanya bagus, ya?

Satria: Lumayan adem, padahal biasanya gerah.

Satria: By the way, ke McD yuk. Cari es krim.

Alana mengerutkan dahinya, heran. Matanya terpaku ke layar ponselnya. Cowok itu, gayanya seperti yang sedang di Singapura saja.

Alana: Ngomongnya kayak yang lagi di sini aja.

Balasan dari Satria langsung muncul.

Satria: Tumben pakai baju warna putih. Biasanya di Jakarta pakai hitam-hitam terus.

Satria: Garis-garis, lagi. Lucu kayak Waldo.

Alana melihat baju putih bergaris yang dikenakannya, dan mengangkat kepalanya curiga. Bagaimana bisa Satria tahu cuaca Singapura dan baju yang ia kenakan hari ini?

Mata Alana lantas tertuju ke arah sosok tinggi yang berjalan dari balik salah satu pohon di pelataran perpustakaan, melambaikan tangan ke arahnya dengan kemeja flanel hijau tuanya sambil tersenyum lebar. Alana tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

Satria: Surprise.

Setengah mati Alana menahan dorongan untuk berlari dan memeluk pria itu. Tahan, Alana. Belum halal jangan coba-coba. Jangan gila, pikirnya. Ia mengambil napas panjang, dan akhirnya menuruni tangga pelataran perpustakaan, berjalan ke arah Satria. Berlagak santai seolah tidak ada perasaan apa-apa, padahal jantungnya sudah bermain orkestra. Berjarak lima langkah dari pria itu, ia mendongak, mengamati wajah Satria yang lebih cerah daripada saat ia tinggalkan enam bulan yang lalu.

"Hei. Ngapain kamu di sini?"

"Kok nanya?" Satria menatap Alana yang tingginya hanya sedagunya. "Jangan bilang kamu lupa pembicaraan kita di bandara waktu itu?"

Bagaimana mungkin Alana bisa lupa? Ujung bibirnya tertarik sedikit ke atas. "Jadi? Memangnya kamu sudah yakin?"

"Seratus persen," Satria tersenyum lebar. "Kamu sendiri gimana?"

"Hmm. Kalau saya udah nggak mau, gimana?" Alana pura-pura berpikir, tetapi senyum lebar Satria ternyata menular ke Alana.

Satria memiringkan kepalanya. "Nggak mungkin. Buktinya muka kamu semringah banget lihat saya datang."

Tertangkap basah. Memang sulit bagi Alana untuk menyembunyikan rasa bahagianya. Satria mengangkat alisnya sambil melipat tangannya.

"Jadi gimana? Mau cari es krim di McD?"

Pertanyaan sederhana dari Satria yang bermakna ganda. Mereka berdua paham, tempat itu bukan sekedar tempat makan biasa, tetapi saksi bisu milestone hubungan mereka. Dan hari ini, sepertinya mereka akan membuat sejarah baru.

"Boleh, deh," jawab Alana sambil pura-pura tidak butuh. Mendengarnya, Satria nyengir lebar.

"Nah, benar, kan, di sini nggak ada yang lebih keren daripada saya?"

Alana meninju lengan Satria sambil tertawa. Lagi-lagi arogansi Satria yang biasa, tapi ia suka.

"Iya, nggak ada."

-TAMAT-


------


[Author's Note]

Hah, tamat???

Iya, tamat. Authornya gak kuat nulis yang panjang2, biasanya +- 30 Bab aja :))

Ini adalah novel pertama (kedua, deng -- cuma yg pertama acakadut bgt gak tertolong wkwkwk, mau liat draftnya aja malu XD). Ini salah satu cerita yg idenya ganggu banget, alhamdulillah keluar juga dia.

Apakah akan ada extra part? Sepertinya tydac, karena author lagi burnout wakakak.

Apakah akan ada karya baru lagi? Silakan mampir ke "Sebelah Kaki". Cerita ini ditulis dalam rangka memenuhi tantangan support group. Tapi kumaha eh, outline-nya masih kasar banget. Hehe. Bismillah aja dah dicoba dulu.

Apakah akan ada cerita lain lagi? Maunya sih gitu, doain aja yak...

Terima kasih udah baca, udah ketok-ketok reminder update, udah kasih komen dan vote, it means a lot! Semoga teman-teman sehat bahagia selalu, semoga adalah setitik dua titik kebaikan yg bisa diambil dari cerita ini hehehe...

Btw, penasaran sama pendapat teman-teman. Kira-kira, tema cerita apa lagi yang menurut teman-teman menarik buat ditulis?

Redefining Alana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang