SR-16

75 15 2
                                    

Written by verlitaisme

Walaupun bercanda, aku sebenarnya senang juga kalau Brisa mengiyakan statement pacaranku barusan. Tapi, bukan Brisa namanya kalau bakal bertekuk lutut semudah itu. Yang ada sekarang dia ngeliatin aku dengan pandangan aneh dan penuh peringatan. Ngeri-ngeri sedap ngelihat dia kayak begitu. Lalu, pandangan gadis itu turun, jatuh pada kelingkingku yang bertumpuk pada kelingkingnya.

"Well, aku rasa kamu enggak bakal ngerti masalah aku yang cemburu," gumamku sambil mengerucutkan bibir dan menarik kelingkingku dari kelingkingnya perlahan.

"Nah itu lo tau. Pinter ...."

Terus, aku cuma bisa narik napas panjang dan dalam.

"Tapi, kita tetap makan siang bareng, kan, Bris?"

Lagi, Brisa menatapku dengan satu alis terangkat. "Oke! Soalnya masakan mama lo enak."

Aku mengulum kedua bibirku erat. Rasanya mau loncat dan meluk Brisa terus cium pipinya. Tapi kalau hal yang terbersit itu kulakukan, pasti telapak tangannya bakal nyeplak di pipiku yang mulus ini. Jadi, aku cuma berani bayangin tanpa beraksi. Cari aman.

Acara makan siang kami pun enggak ada yang spesial. Seperti biasa, duduk berdua, makan dengan minim percakapan. Paling Brisa jawab seadanya setiap kali aku nanya apa dia butuh sesuatu, atau apa makanan yang kubawa enak.

Namun, yang membuatku penasaran, makan siang kali ini dia lebih banyak berkonsentrasi pada layar ponselnya. Sesekali bisa kulihat senyum menggaris di bibir saat dia membaca atau mengetik sesuatu di ponsel. Mauku mengintip, tapi enggak berhasil.

Padahal, denganku saja dia enggak pernah tersenyum sebanyak itu. Kalau marah-marah sih selalu. Enggak tenang kayaknya Brisa kalau enggak nyolot bawaannya ke aku.

Saat kelas selesai pun, gadis itu langsung lari keluar kelas. Aku yang memanggilnya untuk menawarkan mengantarnya pulang pun, diabaikan.

Jo yang melihatku berdiri lunglai dari kursi, menghampiri dan menepuk pundakku dengan prihatin.

"Cinta emang enggak mudah, Bro," bisiknya, lalu pergi lebih dulu meninggalkan kelas.

Aku berjalan lunglai menuju area parkir sepeda. Namun, saat melihat Brisa berdiri di depan gerbang, langkahku berbelok bermaksud menghampirinya. Tetapi, tiba-tiba sebuah sedan berwarna putih berhenti tepat di hadapannya. Sontak, kaki ini berhenti melangkah.

Bisa kulihat seorang pria turun dari mobil dan menghampiri Brisa. Terlihat keduanya bercakap-cakap sebelum akhirnya pria itu merangkul Brisa dan membimbingnya ke mobil.

Dari wajahnya, bisa kutebak kalau pria itu sudah jauh lebih dewasa dari aku dan Brisa. Terus, kenapa Brisa mau-maunya dirangkul dan masuk ke mobil?

Dalam sekejap kakiku bergerak dengan cepat. Yang tadinya hanya berjalan cepat, menjadi larian gesit saat kulihat Brisa sudah duduk di jok penumpang depan dengan kaca jendela yang terbuka, sementara si pria sedang mengitari mobil untuk duduk di jok pengemudi.

"Brisa!" seruku memanggil. Tetapi sepertinya jarak kami masih terlalu jauh, ditambah berisiknya siswa-siswi yang tumpah saat jam pulang.

"Brisa!" seruku lagi tanpa menghentikan langkah.

Berhasil! Kali ini Brisa menoleh ke arahku. Dia menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Sepertinya berkata, "Apa?"

"Turun!" seruku.

Namun, kali ini kaca jendela bergerak naik, bersamaan dengan sedan yang bergerak menjauh. Brisa enggak bakal mendengar seruanku lagi.

Saat tiba di gerbang, sedan itu sudah benar-benar pergi. Yang ada, kepalaku penuh dengan pertanyaan.

Sweet RegretsOnde histórias criam vida. Descubra agora