Dandelion

2 0 0
                                    

Awan kelabu menghiasi langit sore. Butiran air hujan pun mulai turun mengguyur pemakaman tersebut. Mengisyaratkan rasa dukanya. Mengekspresikan rasa sedihnya. Membasahi sosok yang berdiri di depan sebuah makam. Tidak ada isakan maupun tangisan. Yang ada hanyalah tatapan kosong terhadap makam di depannya. Tidak ada orang disekitarnya.

Berlarut-larut dalam kesedihan tidak menyelesaikan masalah. Merasa sedih dikala ditinggal orangtua satu-satunya bukanlah hal yang harus dicemaskan. Yang harus dicemaskan sekarang adalah apa yang harus aku lakukan.

Aku menghela nafas lalu menatap ke langit. Kalian tahu apa yang paling romantis dari hujan? Ia selalu kembali ke atas walaupun ia tahu bagaimana rasanya jatuh. Dan ia tidak pernah sekalipun mengeluh.

Aku kembali menghela nafas. Berbalik dan berjalan pulang. Menatap kedepan, tanpa menoleh kebelakang. Mencoba untuk bangkit berdiri dan kembali keatas. Seperti hujan.

Langit semakin gelap. Hujan pun berhenti menyisakan hawa dingin. Bintang dan bulan mulai menampakkan diri. Bersinar remang-remang, memberi kesan tenang dan misterius. Kubuka pintu, menatap kedalam rumah yang gelap gulita. Berharap ada senyuman hangat yang menyambutku kembali.

Namun aku tahu itu hanyalah imajinasiku. Dalam kegelapan, aku berjalan menuju kamarku. Melewati ruang tengah. Aku berhenti, menatap ruangan yang gelap tersebut. Memori bersama ayah seakan berputar kembali. Namun semakin kuingat, hatiku semakin pedih. Aku berlari menuju kamarku. Menghempaskan tubuhku yang lelah ke kasur.

Malam itu, dalam kegelapan. Aku menangis. Menangis akan kepergian orang yang paling kucintai di dunia. Menangis karena aku tidak dapat melihatnya lagi. Menangis karena tidak ada lagi yang akan mendengarkan keluh-kesahku. Menangis karena tidak ada lagi yang menemaniku bila aku sakit. Menangis karena tidak dapat mengucapkan maaf dan terima kasihku padanya. Menangis karena tidak dapat melihat senyuman hangatnya lagi.

Entah sudah berapa hari kulewati. Dunia yang penuh dengan warna kini menjadi abu-abu. Dunia yang dulu penuh kehangatan kini terasa dingin. Aku teringat senyuman hangat ayahku ketika menyambutku pulang dari sekolah. Aku tersenyum miris. Membayangkan bahwa hal tersebut tidak akan pernah terjadi lagi. Tidak akan ada yang menyambutku kembali. Tidak akan ada lagi.

Aku mengurung diriku dari dunia luar. Mencoba untuk menghentikan waktu. Namun hal tersebut tidak mungkin pernah terjadi. Aku hidup dalam dunia abu-abuku hingga aku beranjak menjadi dewasa. Aku tahu waktu tidak mungkin berhenti, namun hatiku terhenti akan kematian ayahku bertahun-tahun yang lalu.

Liburan telah usai, musim pun berganti. Tahun ajaran baru dimulai. Memasuki kelas baru, bertemu teman baru. Tidak satupun ku hiraukan. Bagaikan mayat hidup, aku memasuki kelas baru. Duduk dan menatap keluar. Tidak ku hiraukan bisikan, candaan maupun suara teman sekelasku. Aku hanya menatap keluar jendela, mendengarkan penjelasan guru. Tidak ada yang spesial. Dan aku pun melalui hariku seperti itu.

" Eli! Tolong ambilkan kain hitam yang di atas meja. "

Kami sedang mempersiapkan diri untuk menyambut festival kebudayaan. Kelas kami sepakat untuk membuat rumah hantu. Aku mengambil kain hitam di atas meja lalu menyerahkannya pada temanku, Abi.

" Ada yang perlu kubantu lagi? " Tanyaku sambil membantunya menggantung kain tersebut. Namun ia menggelengkan kepalanya. Aku dan Abi berteman dari SD hingga sekarang. Walaupun kami telah berteman lama, namun kami tidak terlalu akrab.

" Eli, tolong bantu warnain ini! " ujar temanku yang lain. Aku pun permisi, dan pergi membantu mewarnai banner kelas. Aku mengerjakan dengan diam. Sedangkan teman-teman yang lain mengerjakan sambil bercanda. Sepertinya mereka sedang membahas mengenai fashion terbaru.

" Eli, menurutmu mana yang lebih bagus, ungu atau hitam? " tanya Haruhi. Aku berdiri dan berjalan diantara teman-temanku. Dari tengah aku bisa melihat bahwa bannernya kurang seram.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang