Prolog

3.8K 459 93
                                    

Sorot mata Adel yang dingin dan tak terbaca memindai tubuh Javier dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara otaknya melalukan proses penilaian dalam hitungan cepat.

Tubuhnya lumayan tinggi. Seratus delapan puluh senti meter mungkin? Kulitnya terlihat sedikit kecokelatan, sepertinya terlalu sering melakukan aksi demo membuat kulitnya tersengat terik matahari. Adel mengulum senyum mencemooh karena pikirannya sendiri.

Bentuk tubuhnya lumayan. Javier memiliki otot mengesankan di kedua lengannya. Bahunya juga lebar dan tampak kekar.

Lalu wajahnya...

Adel menyelami wajah Javier lekat. Sedang lelaki itu masih betah bersedekap memandangnya dengan sorot mata yang seperti sedang mengolok-olok Adel.

"Kenapa?" Pada akhirnya Javier bersuara. "Kamu tertarik sama aku?" Javier tersenyum miring.

Adel mengernyit, kemudian tersenyum geli dengan cara yang menjengkelkan. "Maaf. Tapi apa kamu pernah ngaca sebelumnya? " mata Adel kembali memindai tubuh Javier dengan sorot mengejek. "Tertarik sama laki-laki kaya kamu?" Adel menggeleng pelan.

Laki-laki kaya kamu yang baru saja Adel katakan benar-benar terdengar seperti merendahkan. Bahkan Adel bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Javier yang semakin membuatnya merasa puas.

Adel melangkah lambat, berdiri tepat di depan Javier. Kepalanya bergerak miring, seperti senyumannya. Wajah cantik dengan ekspresi dingin itu benar-benar lihai mempermainkan emosi Javier.

"Namaku Adelia Putri Hamizan. Pernah mendengar nama Hamizan sebelumnya?" Adel menarik garis senyumnya semakin tinggi. Membuatnya semakin menawan sekaligus berbahaya dalam satu waktu.

"Kalau telinga kamu asing dengan nama keluarga Papiku, ya... mungkin karena terlalu sibuk melakukan hal tolol di jalanan, kamu nggak pernah tahu perkembangan apa-apa soal bisnis. Gimana dengan yang satu ini." Bulu mata lentik Adel bergerak ketika dia mengerjap lambat. "Barata. Aku adalah cucu dari Adrian Barata."

Javier mendengus. "Mau pamer, hm?"

"Oh, bukan. Aku cuma mau membuat otak kecil kamu yang kosong itu diisi dengan sedikit informasi kalau untuk pergi berlibur dan membeli barang-barang mahal, aku nggak harus menunggu uang dari pekerjaanku. Jadi, tuan Javier Naraya..." mata Adel menyipit tajam. "Kalau hidup kamu ternyata menyedihkan, tolong jangan menyamaratakan hidup kamu dengan orang lain. Karena nggak semua orang harus hidup miskin seperti kamu."

Ucapan yang sungguh kejam. Bahkan mekanik bengkel yang lain pun sampai termangu tak percaya mendengar kalimat sekejam itu terdengar dari gadis seperti Adel.

Jangankan mereka, supir yang sejak tadi ada bersama Adel pun sampai menelan ludah khawatir.

Tapi Adel sama sekali tidak merasa bersalah, dia justru tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah Javier yang tak lagi berekspresi.

"Mobilnya sudah datang?" Adel menoleh pada supir di belakangnya.

"Su-Sudah, Non Adel." Jawabnya. "Mau pulang sekarang?"

"Hm. Tolong urus pembayarannya." Adel menatap Javier sekali lagi, seperti sedang memberi peringatan sebelum beranjak pergi dari sana, naik ke mobil lainnya yang baru saja tiba untuk menjemput.

Putra bergegas menghampiri Javier yang masih berdiri diam di tempatnya. "Lo nggak apa-apa?" Ditepuknya pundak Javier pelan.

Javier tersenyum tipis. "Santai aja. Gue nggak apa-apa." Javier melirik mobil Alphard milik Adel yang berada di dalam bengkel. Sorot matanya sedikit berubah kala memandangnya. "Mobil itu lo sama yang lain aja yang urus. Hari ini gue cuma masuk setengah hari."

The ForbiddenWhere stories live. Discover now