PMJ-11

164 26 2
                                    

Di dalam D-Cab yang tengah melaju, Angga mencoba bersikap tenang dan tetap fokus mengemudi. Welcome to My Life dari Simple Plan, mengalun seirama laju mobil yang kecepatannya semakin bertambah seiring waktu, setelah memasuki jalan raya Daendles ke arah Sukapura.

Lintang mendengkus berkali-kali dan menggerutu. Ia memilin ujung hijab cokelat tanahnya dengan kasar. Tapi, Angga sama sekali tak menggubrisnya. Biar saja dia sibuk dengan kekesalannya. Perasaan yang dibuat-buat itu urusannya sendiri, kan?

Setelah kembali pamit pada Bapak dan Ibu pagi tadi, pun begitu Lintang diberi kesempatan berlama-lama berbincang dengan Sekar, akhirnya sore ini mereka bertolak ke Sukapura. Sebagaimana semestinya, kan? Sesuai rencana awal.

Dan perihal pengakuan Lintang kemarin lusa, tak akan mungkin mampu menggoyahkan Angga sedikit pun. Mereka telah menikah. Apa hanya karena terungkapnya sebuah fakta mengejutkan bisa membuat mereka berpisah? Tentu saja tidak. Angga Bamantara bukan lelaki selemah itu.

Lagipula, lelaki pemilik Kafe dan persewaan jeep itu bukan remaja ingusan kemarin sore. Mana mungkin ketika ada masalah sedikit saja, langsung merajuk. Angga adalah lelaki dua puluh sembilan tahun yang sudah dewasa.

"Kenapa, sih, harus memutar musik seperti ini? Bikin kuping penuh, tahu, nggak?!" Lintang berdecak lalu kembali mendengkus.

"Emang musik itu benda yang bisa memenuhi ruang? Bukankah musik hanya getaran gelombang yang ditangkap indra pendengaran lalu diterima sensor otak dan diidentifikasi dalam not-not tertentu?"

"Ngomong sama kamu, tuh, ya?!" Lintang berdecak, "Kalau sebel dan nggak suka sama aku, kenapa harus diterusin? Nggak enak sama orang tua? Gitu?"

Angga mengedikkan bahu dan mencebik. "Kamu pikir aku anak ingusan kemarin sore? Kita lihat aja nanti."

"Kamu mau apa?!"

"Entah. Masih belum ada rencana. Kamu memang aman beberapa hari ini. Tapi ... Ah, nggak seru kalau harus dibocorin." Angga menaikkan alis dan tersenyum miring. Tapi, pandangannya masih fokus ke depan.

Lintang berdecak dan membuang muka. Ia pun bersedekap.

Hadir kembali ingatan di pikiran Angga tentang kejadian kemarin lusa saat mereka usai salat. Lintang mengungkapkan sesuatu yang sangat mengejutkan.

"Lepasin aku!" ujar Lintang menatap Angga tajam.

Mendengar hal itu, tentu saja Angga terkejut. Ia mengernyit dan memiringkan kepala. "Lepasin? Maksudmu apa?"

"Pernikahan ini seharusnya nggak pernah dan nggak boleh terjadi. Kamu tiba-tiba datang dalam kehidupanku dan mengobrak-abriknya," Lintang memicingkan mata, "Terlebih lagi, tiba-tiba melamar tanpa bertanya apakah aku mau atau nggak. Li-cik!"

"Bukankah ... itu keinginanmu sendiri? Lagipula, ada waktu beberapa hari sebelum acara pertunangan kemarin, kenapa kamu nggak ngomong? Atau ... setelah acara pertunangan itu, masih banyak sekali waktu, kan?"

Lintang bergeming. "Harusnya kamu sudah tahu. Nggak perlu penjelasan lagi. Kita sama sekali nggak kenal, kan?" Lintang membuang muka, "Kita sama sekali nggak cocok. Kamu terlalu bebas untukku yang berusaha memegang teguh syariah."

"Ya sudah kalau begitu. Ini hanya persoalan kenal nggak kenal, kan? Tapi, faktanya kita sudah menikah," Angga meraih pipi Lintang dan mengarahkan agar kembali menghadap padanya. Lalu, menatap istrinya tajam, "Dan ... aku kembalikan lagi ucapanmu sebagai perempuan yang memegang teguh syariah."

"Silakan!"

"Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci Tuhan. Jadi ... kalau memang kamu memegang aturan Tuhan, tentu hal yang dibenci-Nya, nggak bakal kamu lakukan."

(END/Versi Revisi) Peace! Mas JodohDonde viven las historias. Descúbrelo ahora