Bab. 01

673 207 82
                                    

 Allen tampak mengurut pelipis. Baru pulang dari restoran tempat ia mencari cuan mendadak mama minta bicara serius di ruang tamu. Waktu yang akan ia gunakan untuk tidur lebih awal harus dinego terlebih dulu dan apa katanya tadi? Mama ingin menjodohkan Allen dengan anak temen mama. "Yang bener, aja ma! Masa, tiba-tiba mau jodohin Allen?"

Wanita yang duduk bersebrangan dengan Allen tersenyum, menanggapi dengan santai seraya menatap putranya yang tampak resah.

"Demi kebaikan kamu. Mama ingin memilihkan jodoh yang terbaik."

Mata Allen memejam. Seumur hidup belum pernah terlintas di pikirannya akan menikah karena dijodohkan. Baiklah, ia tahu mama suka mengatur hidupnya. Menyuruh ini itu pada sang anak tanpa mempertimbangkan keputusan Allen. Tapi kalau sudah menyangkut pernikahan ia tidak bisa mengangguk begitu saja.

Pernikahan itu sakral. Bukan cuma suka sama suka terus nikah, banyak perencanaan matang yang harus dipersiapkan. Misalnya, finansial dan mental. Dan secara mental Allen belum siap.

Menghela napas dan mengembuskan pelan. Ia harus tetap tenang walau detakan dibalik dada berdebar hebat. "Tidak perlu repot, Ma. Allen bisa cari pasangan sendiri."

Terlebih ia sudah dewasa. Tahu mana yang terbaik buat diri sendiri dan lebih tahu butuh pasangan seperti apa untuk masa depannya nanti.

"Tidak bisa! Mama sudah terlanjur janji dengan calon besan sejak kita sekolah di SMP dulu. Kita berdua teman dekat dan berniat ingin menjodohkan salah satu anak kita nantinya."

Dan janji harus ditepati! Nika paling anti melanggar janji sendiri, mau atau tidak si anak bisa ia bujuk sampai bersedia. Apa ia egois? Tentu tidak, calonnya saja merupakan menantu idealnya selama ini.

"Terus kenapa Mama tidak pernah cerita mengenai perjodohan? Justru mendadak gini."

Wanita yang telah melahirkan Allen ke dunia menatap sang suami yang duduk di sebelahnya sekilas. "Mau mendadak tidaknya, kamu tetep Mama jodohkan Allen."

Allen langsung menatap penuh harap pada Papa. Semoga bisa mengerti kegelisahan yang tercetak jelas di mata, tapi percuma lantaran lelaki itu mengangguk pelan ke arahnya.

"Mau, ya, Len." Rupanya wanita itu masih berusaha membujuk dan hal tersebut berhasil menggores hati si anak. "Kita sudah terlanjur janji," tekan Nika pada kata janji berharap si anak bisa mengerti.

"Kenapa harus janji, sih, Ma! Anak kecil membuat janji sebesar itu?!"

Bukan apa-apa. Usia anak remaja masih labil, seharusnya Mama tidak perlu menganggap serius janji perjodohan konyol itu. Ayolah, anak remaja tidak seharusnya membahas masa depan anak-anaknya nanti. Allen saja waktu seumuran remaja sekolah menengah pertama belum memikirkan pernikahan, otaknya dipenuhi oleh materi pelajaran dan berpikir bagaimana caranya bisa menjadi murid berprestasi.

"Kan supaya silaturahmi kami berdua makin kuat. Jadi, kita kompak menjodohkan anak-anak kita nanti."

"Tapi mempererat silaturahmi tidak harus menjodohkan anak, kan, Ma? Walau tanpa perjodohan seharusnya silaturahmi masih erat."

"Mama mau jadi bagian keluarga. Apa salahnya kamu terima perjodohan ini?!"

Masih belum mau mengalah rupanya. Mama kuat dalam pendirian walau harus mengesampingkan perasaan sang anak. Berdebat dengan Mama pun, rasanya percuma. Ungkapan wanita selalu benar cocok sekali dengan Mama. Tiap kali berargumen selalu tidak bisa dibantah dan merasa paling benar.

Lelaki yang memakai kaos hitam polos itu menatap ke arah lain. Entah sejak kapan pasokan oksigen di paru-paru terasa menipis, dada Allen terasa sesak. Antara ingin berbakti atau melonggarkan ego, sesekali ia ingin bernapas lega tanpa harus menuruti keinginan mama.

TAUT | Kim Mingyu✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang