11

1K 198 49
                                    

Selama ini, kontak fisik paling jauh yang dilakukan Naruto terhadap Hinata hanyalah sebatas merangkul pundak. Itu pun hanya terjadi di saat Hinata berusaha melewati kerumunan penggemar atau paparazzi yang mengepungnya.

Hanya sebatas itu.

Naruto hanya melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya, dan Hinata pun paham.

Selebihnya, Naruto selalu memasang batasan yang jelas dan jarak yang aman di antara mereka.

Akan tetapi, malam ini ....

Diawali oleh kegilaan Hinata yang putus asa pasca dicampakkan, mereka telah bersama-sama menyeberangi batasan tersebut. Naruto, secara mengejutkan, sempat bungkam dan diam saja tanpa berniat mencegah Hinata lebih lanjut. Dan jika saja panggilan telepon itu tidak menghentikan mereka dan mengembalikan akal sehat Naruto, Hinata tidak tahu lagi apa yang mungkin telah terjadi di antara mereka.

Tidak sampai di situ saja, Hinata kembali dibuat terkejut oleh penuturan panjang nan bijak dari bibir Naruto, juga tindakan kecil nan manis yang dilakukan oleh pria itu, yakni mengusap air matanya. Demi Tuhan, di tengah perih yang menghunjam dadanya akibat pemutusan sepihak dan juga kalimat-kalimat kejam tak berperasaan dari Kiba, kehadiran Naruto adalah satu-satunya hal yang teramat Hinata syukuri.

Hinata bersyukur pria itu tidak meninggalkannya seorang diri. Hinata juga bersyukur bahwa pria itu ada di sisinya, memberikan kata-kata yang meski tak dapat menyembuhkan luka hatinya sepenuhnya, tetapi berhasil membuatnya merasa lebih baik. Naruto ada untuknya, mengusap air matanya di saat Ia sendiri sudah berniat membiarkan cairan bening menyedihkan itu berjatuhan begitu saja sepanjang malam ini.

Dan oleh karena itu, Hinata tanpa tahu diri tidak dapat menahan keinginannya untuk memeluk Naruto.

Persetan.

Lagipula, Ia sudah tidak terikat dengan siapa pun, bukan? Memeluk Naruto bukanlah hal yang salah. Kiba tidak lagi memiliki hak untuk protes ataupun merasa cemburu seperti yang kemarin-kemarin.

Dipeluknya Naruto erat-erat, menghidu dalam-dalam aroma citrus berpadu cedarwood yang maskulin nan lembut, dan sesuai dugaannya, rasanya amat ... menenangkan. Indra penciumannya dimanjakan, mengalirkan kelegaan yang membuat tubuhnya rileks dan enggan menjauh.

"Nar," gumam Hinata pelan seraya menggesekkan ujung hidung bangirnya pada kemeja Naruto meski Ia seratus persen sadar akan kekerasan pria itu yang sedang menekan perutnya.

"Iya."

"Ini mungkin akan bikin aku keliatan lebih nggak tau malu lagi di mata kamu, tapi ... boleh aku minta sesuatu?" ucap Hinata tanpa mengangkat wajahnya yang sedikit memanas seraya meremas pelan kain jas Naruto di punggung pria itu guna mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan perkataannya. "Jangan pulang."

"Ya?" Dari nada suara Naruto, Hinata menebak pria itu sedang kaget bukan main mendengar permintaannya.

Namun, Hinata tidak peduli. Ia tetap meminta. "Jangan pulang. Aku mau kamu temenin aku di sini, malam ini," katanya lirih. "Aku bener-bener butuh ini," tambahnya sembari mengeratkan pelukan agar Naruto mengerti maksudnya.

Sungguh, Hinata hanya tidak ingin seorang diri saja di saat suasana hatinya sedang hancur lebur. Ia butuh seseorang yang bisa menemaninya, yang mengerti benar apa yang telah terjadi padanya, dan saat ini, Naruto-lah sosok yang sangat sesuai untuk itu.

Hinata meminta, meski Ia juga memutuskan untuk tidak memaksa jika Naruto akhirnya menolak.

"Nar, plis jangan diem aja," cicit Hinata cemas, dan ketika Ia merasakan rengkuhan Naruto merenggang, Ia mulai bisa menebak jawaban pria itu selanjutnya.

To Be With You [NaruHina]Where stories live. Discover now