11/11

234 62 123
                                    


Setelah berdiri di samping Joanna, Jeffrey langsung menatap si istri tajam. Sebab apa yang baru saja wanita itu katakan sangat kasar menurutnya. Apalagi terhadap ibu kandungnya.

"APA MAKSUDMU BERKATA SEPERTI ITU!?"

Joanna mulai menggeser badan. Sedikit menjauhi Jeffrey yang sudah berdiri si sampingnya. Dengan air mata yang sudah membasahi wajah.

"Lebih baik tanya sendiri pada mereka. Apa yang baru saja Mamamu katakan hingga aku berani berkata demikian!"

Ucap Joanna sembari menyeka air mata. Dia langsung membalikkan badan. Menaiki tangga dan berniat menuju kamar. Sebab dia ingin menyendiri sekarang. Karena dia tahu Jeffrey tidak akan menyusul juga. Mengingat dia harus kerja.

2. 30 PM

Untuk yang pertama kalinya setelah lima belas tahun menikah, Joanna mengurung diri di kamar. Bahkan dia tidak makan apa-apa. Karena di kamar juga tidak ada apapun yang bisa dimakan. Kecuali air putih saja.

Tok... Tok...

Joanna membuka pintu perlahan. Dengan mata bengkak dan masih memakai piyama. Sebab seharian ini dia hanya menangisi keadaan.

"Ibu, makan dulu. Ibu pasti lapar karena tidak sarapan."

Joanna meraih kresek hitam yang Diana bawa. Di dalam sana ada beberapa roti dan minuman isotonik dingin juga. Pertanda jika wanita itu baru saja membeli ini di luar. Sebab di dalam kulkas hanya ada air dingin dan es krim saja.

"Terima kasih, Sus."

"Jangan lupa vitaminnya diminum, Bu. Jangan sampai sakit, ya, Bu?"

Joanna mengangguk singkat. Karena selama ini si suster yang selalu meresepkan vitamin untuknya. Selalu mengingatkan juga agar dia tidak lupa. Tidak heran jika Joanna jarang sakit selama beberapa tahun ke belakang. Saat Diana mulai kerja.

"Anak-anak sudah pulang, kan? Mereka sudah makan? Mencariku tidak?"

"Sudah, Bu. Sudah makan juga. Mereka juga sudah tidur siang dan sedang belajar sekarang. Dengan Ibu Kalandra di taman. Mereka tidak mencari Ibu untungnya."

Joanna mulai bernafas lega. Karena tahu anak-anaknya baik-baik saja. Meski dalam hati agak sakit karena mereka tidak mencarinya.

Setelah menutup pintu kamar, Joanna langsung memakan roti pemberian Diana. Dia juga meminum minuman isotonik juga. Tidak lupa menelan vitamin pula. Karena sejak tadi tubuhnya sudah meriang pertanda mulai tidak enak badan.

Setengah jam kemudian Joanna mandi. Dia juga membereskan kamar yang sejak tadi berantakan sekali. Kemudian merefleksikan diri di depan cermin. Menelaah lagi apakah ada yang salah pada dirinya ini. Hingga bisa diperlakukan sejahat ini.

Lagi-lagi Joanna menangis. Kali ini cukup lama hingga tidak sadar jika jarum jam telah menunjukkan pada jam lima lebih. Membuat pintu terbuka dan menampilkan Jeffrey yang baru saja pulang dengan tubuh wangi. Karena memang seperti ini aroma si pria setiap hari. Selalu paripurna dari ujung kepala hingga kaki.

Joanna langsung menyeka air mata setelah melihat Jeffrey dari cermin meja rias. Si suami sudah mendekat dengan wajah garang. Lalu melepas jas dan dasi dengan kasar di belakang. Kemudian dilempar asal di atas ranjang.

"Apa maksudumu berbicara seperti itu pada Mama!? Kamu mulai memberontak sekarang? Kamu---"

"Aku minta maaf. Aku salah. Tidak seharusnya aku berbicara kasar pada orang tua. Aku juga akan minta maaf saat makan malam."

Joanna langsung bangkit dari kursi. Lalu menuju kamar mandi. Menyiapkan air hangat untuk si suami. Lalu mengambilkan baju ganti.

Jeffrey yang melihat itu jelas tidak mampu berbicara lagi. Dia mandi dan terus berpikir. Apa dia salah telah memperlakukan si istri seperti ini? Karena diapun agak merasa gelisah saat ini.

"Ayo turun!"

Seru Jeffrey setelah selesai memakai baju. Dia langsung menatap Joanna yang masih duduk di tepi ranjang karena menunggu. Padahal, biasanya dia akan turun sendiri tanpa ada yang menyuruh.

Joanna hanya mengangguk singkat. Lalu mengekori suaminya dari belakang. Kemudian menuju meja makan yang sudah diisi oleh seluruh anggota keluarga. Sepasang mertua, si kembar dan Kalandra tentu saja.

"Kenapa turun? Tidak sekalian saja pulang ke rumah orang tuamu? Dasar menantu tidak tahu diuntung!"

Ucapan Jessica jelas membuat Joanna yang ingin meminta maaf mulai mengurungkan niat. Sebab ini sudah melebihi batas kesabaran si wanita. Apalagi ada anak-anak di sana.

"Kalau aku tidak tahu diuntung, aku pasti tidak akan diam di rumah dan mengurus kalian. Membangunkan suami dan anak-anak, mengurus belanjaan, mengantar Papa terapi dan memastikan dia selalu meminum obat, serta masih banyak yang lainnya. Karena aku pasti akan sering menghabiskan waktu di luar. Foya-foya menggunkan uang kalian, atau justru bekerja mungkin saja. Dan---aku pasti tidak akan berdiri di depan Mama dengan mata bengkak karena terus direndahkan."

"JEFFREY! KAU DENGAR, KAN!? SEPERTI INI KELAKUAN ISTRIMU YANG SEBENARNYA!"

Jeffrey langsung membalikkan badan. Menatap tajam Joanna yang masih berada di belakangnya. Berdiri tegak dengan mata bengkak.

"Kamu---"

"MAMA KOK BEGITU, SIH!? JADI SELAMA INI MAMA TIDAK IKHLAS MENGURUS KITA!?"

Pekik Asa tiba-tiba. Sedangkan Niki mulai menatapnya tajam. Penuh kebencian. Tidak seperti Asa yang sudah berkaca-kaca.

"Kalau memang Mama sudah tidak mau membangunkan kita, lebih baik menyerah saja. Biarkan orang lain yang lakukan! Toh, sudah ada Tante Kalandra sekarang!"

Ucap Niki dengan suara datar. Dia juga langsung mengisi piringnya dengan berbagai makanan. Lalu diberikan pada Kalandra yang duduk di sampingnya.

"Asa, Niki. Kalian tidak boleh seperti ini. Kalian---"

Ucapan Sandi terjeda saat Jessica tiba-tiba bangkit dari kursi. Dia langsung pergi sembari menangis. Ke kamar dan meninggalkan semua orang di sini.

"GARA-GARA MAMA NENEK SEDIH! MAMA JAHAT!"

Asa yang memang paling dekat dengan neneknya langsung menyusul Jessica. Dengan air mata yang sudah membasahi wajah. Berbeda dengan Niki yang kini sudah sibuk makan. Bersama Kalandra, seolah tidak terjadi apa-apa.

Kalo sebelum jam sepuluh chapter 9-11 udah rame, bakalan aku publish empat chapter terakhir sebelum jam 12 malem ini :)

Tenang, Joanna yang penyabar udah berhenti di sini 😂

Tbc...

15TH ANNIVERSARY [END] Where stories live. Discover now