08: Sayang

124 14 4
                                    

⚠️ BIASAKAN BACA TW ⚠️

Disclaimer

Cerita mencakup penyebutan disabilitas.

Joharta bergegas pergi ke rumah sakit pada keesokan harinya. Sinar matahari menyorot terang, membuat keringatnya menetes.

Dengan perasaan gelisah Joharta memasuki gedung bertingkat itu, menengok kanan-kiri, ada yang sedang berbaris mengantri untuk menyairkan resep obat, ada juga yang sedang duduk, menunggu namanya dipanggil masuk ke ruangan untuk diperiksa dokter.

Joharta yang sebelumnya berkendara tanpa menggunkan pelindung kepala membuat matahari langsung menyentuh kepalanya, alhasil rasa pening mulai melanda.

Dengan mata yang ia sipitkan untuk meminimalisir rasa pusing, Joharta kembali menghampiri resepsionis dan menyebutkan nama Napuja.

"Mas ini, siapanya pasien?"

"Saya temannya, mbak."

"Umm.. mohon maaf mas sesuai kesepakatan, yang dapat menjenguk Saudara Napuja hanya anggota keluarganya saja."

Joharta melebarkan kedua matanya, dia membuang nafas kasar lalu berkata, "Mbak, saya- setidaknya izinin lihat dia sebentar aja, gak perlu masuk kamarnya juga gak masalah kok."

"Mohon maaf mas, saya hanya menjalankan kesepakatan yang telah ditetapkan."

Joharta menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, bola matanya bergerak ke samping, tiba-tiba dia melihat sosok pria tinggi yang sangat ia kenali, sedang mendorong Napuja yang duduk lemas di atas kursi roda.

"Napuja!" tanpa pamit pada mbak resepsionis, Joharta berlari kencang menghampiri pria manis yang sungguh ia kagumi.

"Mas- Jo..."

"Napuja, lo kenapa-, kenapa bisa sampai kaya gini dek? Gimana rasanya sekarang, sakit banget ya?"

Napuja menarik nafas dalam, bibir pucat keringnya bergerak pelan. "Sakit, Mas."

"Kata Nugroho tulang punggung lo patah, lo-"

"Engga, engga patah..."

"Nak, kita naik ke kamar Napuja aja yuk? Supaya lebih nyaman ngobrolnya," itu Mahendra, ayahnya Joharta.

Joharta setuju, mereka bertiga bersamaan masuk ke dalam lift, namun kini Joharta yang mendorong kursi roda Napuja. Dengan penuh hati-hati dia membelokkan kursi tersebut menuju kamar VIP yang telah disewa oleh Mahendra.

Kepala Napuja tertunduk lemas, air mata menetes, membasahi pipi lembutnya. Dengan sigap Joharta berjongkok di depannya, mengangkat dagu Napuja lembut dengan jari telunjuknya.

"Dek, tenangin diri lo, ya? Maaf gue lancang banget sampai datang ke sini, tapi gue bener-bener khawatir sama keadaan lo. Semalam aja sampai gak bisa tidur, hhh..."

Napuja hanya diam, menatap tepat pada wajah Joharta dengan air mata yang masih terus mengalir.

Joharta membuang nafas lembut, mengangkat dua tangannya, lalu menggenggam telapak tangan Napuja yang terasa dingin.

"Adek, mau gue temenin di sini? Atau lo keganggu atas kehadiran gue?"

"Dari semalam dia nyariin kamu, Jo," sela Mahendra. Dia jalan mendekati mereka berdua, dengan ekspresi serius, dia membersihkan tenggorokannya.

"Dia masih agak trauma, jadi mungkin bakal minim bicara. Tapi ada satu hal penting yang baru aja dokter kasitau ke ayah."

Joharta langsung menengok, berbeda dengan Napuja yang tak memberikan respons apapun.

"Kenapa Yah?"

Mahendra menarik nafas dalam sebelum akhirnya dengan berat hati mengatakan yang sebenarnya, fakta yang bahkan Napuja sendiri belum ketahui.

"Napuja ngga akan bisa jalan lagi."

Raut wajah Napuja yang semula tampak pucat tak bernyawa kini mulai memerah, air matanya mengalir semakin deras, kini manik indah Joharta juga melembab.

Tanpa mengucapkan apapun, Joharta memeluk Napuja lembut, tak ingin membuat tubuhnya sakit.

"Iya adek, nangis aja gakpapa. Sini, peluk gue."

Napuja menghela nafas lemah, air mata terus mengalir, namun ekspresinya tak berubah. Joharta mengusap pipi lembut Napuja dengan ibu jarinya.

"Ssshh... Napuja, you have me. Gue janji mulai sekarang bakal jagain lo terus. Maafin gue, dek."

Mahendra melemparkan pandangannya pada jendela besar yang menghadap pada jalan raya dan gedung-gedung tinggi. Dia sedikit mendongakkan kepala, mengedip cepat agar air matanya tak mengalir.

"Gue cacat sekarang, Mas....?"

"Gak, jangan ngomong kaya gitu."

"Mas..."

Joharta menangkup wajah Napuja, menatap maniknya dalam. Mata Napuja sudah merah akibat menangis, begitupula Joharta.

Air mata Napuja mengalir deras, Joharta memejam mata, mendekatkan bibirnya pada pipi Napuja, memberi kecupan lembut tepat pada tetesan air matanya.

"Promise to God, I will protect you for the rest of my life, Napuja."

Napuja menghembus nafas. "K-kenapa..."

"Karena gue sayang sama lo, adek. Sayang banget."

...

Mata Joharta terpejam, tubuhnya ia sandarkan pada sofa empuk di sebelah kasur Napuja. Kini hanya ada mereka berdua di ruangan itu.

"Mas Jo?" bisik Napuja. Perlahan dia memiringksn lehernya menghadap Joharta. "Mas, tenggorokan gue kering banget."

Masih terpejam.

"Hhhh... Mas Jo..." rengeknya. Pergerakan tubuh Napuja masih sangat terbatas, bahkan jari tangannya saja masih terasa kaku.

"Mas!"

Joharta tersentak, matanya langsung terbuka lebar. Refleks Joharta berdiri dari sofa dan menghampiri Napuja dalam keadaan setengah sadar.

"Iya sayang- eh, iya, adek? Kenapa dek?"

"Haus..." ucapnya lirih hampir tak bersuara. Dengan sigap Joharta balik badan, jalan cepat ke arah dispenser, mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat.

Joharta mengarahkan gelas tersebut pada bibir Napuja, perlahan dia memiringkan gelas itu, memastikan tidak ada yang tumpah setetes pun.

"Hmmm-" Napuja mengerutkan alisnya, sebagai isyarat tegukan airnya sudah cukup.

Joharta tersenyum manis ke arahnya lalu berkata, "Habis ini kita makan bubur ya adek? Mau gak?"

Napuja mengangguk pelan. "Huum, boleh."

Harta Tak Dipuja ; KookvWhere stories live. Discover now