Part 5

25 20 13
                                    

"Kita seperti potongan-potongan lego yang terpisah namun saling terkait"

***

Cafe Kiyoo, 13:05 WIB

Alunan denting piano bersuara lembut menyentuh telinga Faqih seperti musik penghantar tidur siang yang nyenyak, berada diruang terbuka dengan pohon rindang diatasnya, ditemani secangkir coffe americano favoritnya.

Cuaca yang sangat mendukung dengan langit biru dan putih awan yang berkerumun indah, pecinta langit pasti sangat suka mengabadikannya terutama Faqih yang tak bisa diam bila melihat hal-hal indah disekitarnya.

Setelah mengambil beberapa foto dan sekali memutari caffe, ia kembali ketempat duduknya sembari melirik kearah jam tangan, Ia sengaja datang lebih awal agar bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang nantinya tidak akan menganggu tamunya.

Matanya tertuju pada satu benda yang sudah jarang ditemui diera serba instan ini, disudut meja tempatnya duduk, ada satu kotak korek api terbuat dari kayu, Faqih mengambilnya, membukanya dan terlihat masih banyak sekali isinya.

Ia ambil satu batang korek api, diletakkannya horizontal diatas meja, ambilnya lagi satu ditelatakkannya vertikal dan terus terlanjut sampai membentuk segiempat, diulanginya lagi seperti itu diletakkannya diatas batang korek api yang pertama, terus ia ulangi sampai seperti menara korek api.

Permainan ini lebih seru menurutnya daripada bermain video game dismartphone. Menurut Vice President Corporate Communications Telkomsel, Saki Hamsat Bramono, "Didunia ini sekitar 3 miliar orang yang bermain game atau 40% dari populasi yang ada didunia. Asia itu kontribusinya sekitar 50% dari 3 miliar, itu 1,5 miliar orang bermain game di Asia," dan Faqih tidak temasuk dalam populasi itu, ia lebih suka menghabiskan waktu luangnya dengan alam dan kamera.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," Faqih menjawab suara yang berasal dari seseorang yang dia tunggu, Shafa menyapa dengan senyum manis didepannya.

"Serius banget buat menara korek apinya..." Shafa tersenyum lagi dan mengambil tempat duduknya dihadapan Faqih, "Nggak nunggu terlalu lama kan?" Shafa memastikan.

Faqih menatap jam tangannya, menarik bibirnya tipis keujung, "Not bad, belum lewat dari perjanjian." Menatap Shafa, "Kamu orangnya on time ya?"

"InsyaAllah."

Faqih menawari Shafa untuk memesan makanan dan minuman terlebih dahulu dan Shafa melakukannya, beberapa menit dari itu mereka hanya terdiam, Faqih sibuk dengan kamera dan ponselnya.

Shafa membuka buku bersampul coklat muda dengan kombinasi warna hitam dan list pink fanta, diusapnya lembar berwarna putih kecoklatan tanpa garis pembatas, digoresnya pensil dilembar itu dengan garis yang meliak-liuk seperti tubuh manusia dengan pola yang indah, tangan yang lihai menggambarkan apa yang ada alam pikirannya tanpa melihat contoh apapun didepannya, Shafa terlihat hanya menggunakan imajinasinya dengan mimik wajah yang tersenyum dikala ia terpejam mengingat sesuatu dalam kepalanya.

Tak cukup memakan waktu yang lama, sekitar duabelas menit Shafa telah selesai dengan gambarnya, sebuah gamis muslimah dengan desain elegan.

"Kamu pinter gambar ya?" Faqih takjub dengan apa yang sedang dilihatnya.

Shafa tersenyum, "Ini keahlian yang harus neng jahit miliki." Cenggir Shafa yang dia harap ini bukanlah sesuatu yang harus disombongkan.

Faqih mengangguk-anggukan kepala sambil menebar senyum manisnya, meletakkan ponselnya diatas meja yang sedari tadi ia penganggi.

"Dari kapan suka jahit?"

"Kamu, dari kapan suka dunia fotografi?" Shafa yang balik bertanya bukan menjawab.

SHAFA [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now