Sarah

17 7 0
                                    

Pagi mengusik seperti biasanya.
Rumahku seperti biasa. Sejatinya dia benda mati yang menampung aku, Leo-kakakku-dan Papa. Namun rumahku memiliki keistimewaan. Yaitu tidak pernah sunyi.

Bayangkan saja, sedari tadi, Leo terus-terusan menggedor-gedor pintu kamarku. Sialan, dia antusias sekali karena hari ini adalah hari dibukanya area kawah aneh yang katanya terbentuk karena benturan benda asing. Dan tentu saja, Leo menganggap benda asing itu adalah UFO yang ada aliennya.
Sinting.

"Limo, buka pintunya! Kau sudah janji mau temankan aku meneliti kawah itu, kan?" pekiknya dari luar. Umurnya sudah 22 sekarang. Tingginya jauh di atasku. Tapi kalau masalah dewasa, bahkan binatang lebih jago dari dia.

"Sekali lagi kau kau gedor, aku-"
Dor! Belum sempat selesai kalimatku, dia sudah menggedor lagi.

Aku menghela napas panjang. Ya, sepanjang jalan kenangan. "Oke-oke."

Mau tidak mau aku membukakannya pintu, menatapnya dengan muka sebal sedangkan ia menyeringai tak sabaran ingin pergi.

"Aku siap-siap."

"Aku tunggu di bawah."

"Tidak kau tunggu juga tak apa," kataku lantas menutup pintu kamar dan mengambil handuk. Mandi. Seperti biasa, Papa sudah pergi ke bengkelnya untuk bekerja. Dia adalah tipe orang yang bosan jika tidak ada kegiatan.

Seusai mandi, aku memasukkan ponsel, dompet dan juga earphone ke dalam tas selempang biru. Mengenakan jaket kuning cerah andalanku lalu pergi ke bawah menuju ruang makan dimana si Aneh sudah menunggu di sana.

"Berita bagus."

"Hm." Aku menanggapi Leo setengah-setengah.

Dia berdiri dari kursi ruang makan lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kunci mobil Papa.

"Hei, Leo," kataku tak percaya, "Kalau kita yang pakai mobil Papa, bagaimana dia bisa ke bengkel?"

"Ck," Leo berjalan keluar.
Aku memerhatikannya. Masih bertanya-tanya.

"Kau kira Papa tidak punya teman yang menjemputnya?"

"Oh, dengan temannya. Iya, sih. Dia kan bukan kau, Leo, yang tidak pernah punya teman."

Sial, aku menyakiti hatinya.

Tidak apalah.

Dia masih saja antusias pergi ke kawah omong kosong itu. Bercerita sepanjang perjalanan. Mengoceh. Menyetel lagu-lagu aneh-genre alien katanya. Bahkan hanya berdiam di mobil dengan Leo saja sudah membuatku kepalaku miring.
Setelah penantian 30 menit, kami akhirnya sampai. Setelah sekian banyak kata-kata bodoh masuk ke telingaku.

Aku menyelempangkan tasku di tubuhku. Keluar dari mobil sambil memandangi kawah raksasa yang dipagari garis polisi. Tak terasa tanganku menutup pintu mobil. Apa ini? Hanya lubang besar ke bawah? Wow, serunya melihat benda menyebalkan ini.

Bayangkan jika Leo sudah memiliki anak. Dia membawanya kesini. Lalu apa? Dia akan kemah bersama keluarganya di sekeliling tempat bodoh ini? Melihat kawah tanah gersang?

Ekspresiku sekarang tak lebih dari ekspresi semut. Pernah lihat? Nah, begitulah aku. Tidak ada ekspresi. Tapi kalau kalian lihat si Leo ini... antusias sekali dia, tersenyum sambil berkaca-kaca matanya. Hidungnya menghirup debu kawah seakan itu adalah oksigen paling mahal seantero semesta.
Aku memerhatikannya cukup lama. Sampai-sampai aku bosan, ingin mencari kedai makanan di dekat sini.

Kutatap dia heran. Tidak bergeming matanya.
Akhirnya kuputiskan berkeliling mencari kedai makanan di dekat sini.

Langkahku santai menapaki jalan tanah gersang. Bahkan dari jarak yang agak jauh, suara orang-orang masih terdengar seperti dengung lebah. Apa isi otak mereka? Entahlah.

Mendadak aku menabrak seseorang. Dia terjatuh dan layar tabletnya membentur tanah sedangkan aku hanya termundur. Kutatap dia lalu mengulurkan tangan hendak menolong.

Matanya...
Beku sudah duniaku melihat mata biru berbentuk kacang almond itu.

Rambutnya...
Bergelombang anggun tergerai berwarna cokelat.
Tak lupa bibir merona alami itu, lalu dress sederhana berwarna hijau muda.

"Maaf," kataku tergagap. Mengulurkan tangan.
Dia menggeleng cepat, tak apa, lalu mengambil tanganku, aku menariknya, dia membersihkan debu di pakaiannya.
"Tabletmu pecah..." Aku semakin tidak enak padanya saat mengambilkan tabletnya yang layarnya berderai pecah itu. Aku menggaruk kepala grogi.

"Sudahlah, tidak apa kok."
Ah. Senyumannya semakin membuatku mabuk. Hilang akalku. Aku ternganga membisu, entah apa aku juga tuli. Sebab wajah dan suaranya menyumbat indraku.
"Maaf," ujarnya.

"Hei." Aku benar-benar grogi, napasku tak tentu. "Itu salahku."

Tak kusangka, saat aku sedang terpaku, dia mengulurkan tangannya. "Sarah..."
Nama yang indah.

Aku tergagap tak mengerti. "Limo..." aku menjabat tangannya yang lembut.

"Aku pergi dulu," katanya. Dia melangkah, kutatap punggungnya yang bergegas terburu-buru hingga menghilang dibalik kerumunan orang-orang aneh yang menatap kawah kosong itu.

Aku menghela napas panjang. Bayangkan, tertabrak lalu mengajak kenalan. Dia perempuan istimewa. Atau jangan-jangan juga salah satu dari orang-orang aneh itu?
Kembali aku melangkah berjalan. Kakiku menginjak sesuatu. Aku mengambilnya di tanah. Sebuah gantungan kunci berbentuk hati berwarna merah muda dengan inisial S. Sarah tak sengaja meninggalkannya.
Kusimpan gantungan itu di tasku. Ini kesempatan untuk mencarinya lagi lalu mengembalikan benda itu.


AVOID ITDonde viven las historias. Descúbrelo ahora