Sebelum tidur, doa Lena hanya satu: pertemukan ia dengan Kakak di mimpinya. Hidup di dunia tanpa Kakak sudah cukup membuat lelah, dan Lena yakin Tuhan mendengar permohonannya. Hanya saja, sejak Kakak pergi untuk selamanya, ia sama sekali tak pernah berkunjung ke mimpi gadis dengan kantong mata cekung itu. Entah sudah berapa kali Lena mempertanyakan apakah doanya didengar—dan selama itu pula ia selalu menepis ragunya.
Malam ini berbeda. Lena sudah kepalang lelah. Harinya sama sekali jauh dari kata baik. Jika Tuhan tak mengabulkan doanya yang satu itu, Lena tak yakin akan tetap hidup esok hari.
Satu-satunya kebahagiaan Lena adalah waktu tidur. Dalam mimpi, ia tak perlu mendengar julukan jalang yang ditujukan kepadanya. Ketika ia terlelap, tak akan ada yang mencerca tubuh kurusnya. Lalu, dalam dunia bawah sadarnya, ia bisa makan dengan nikmat tanpa perlu berpikir tentang nasibnya esok hari. Tuhan selalu mengabulkan doanya untuk mimpi enak, tapi tak pernah mengabulkan keinginan Lena untuk bertemu dengan Kakak.
Mata sayu Lena mengatup. Ia sudah bersiap ke alam mimpi. Ia serius: kalau Tuhan tak bisa membuatnya bertemu dengan Kakak dalam mimpi, ia akan mati besok.
*
Biasanya, mimpi Lena memiliki latar di tempat yang pernah Lena saksikan. Entah secara langsung, entah melalui ponsel mungilnya. Kali ini berbeda. Lena tidak pernah melihat kastil putih yang berdiri di dalam hutan seumur hidupnya. Tidak pula dalam drama yang diaksesnya dari situs ilegal. Lalu ... tanah dingin yang ada di bawah telapak kakinya terasa terlalu nyata.
Ini memang hanya mimpi, tapi Lena merinding.
Gadis itu melangkah memasuki halaman kastil. Pagarnya yang karatan itu terbuka lebar. Semak-semak dengan bunga yang sama sekali tak ia kenali memenuhi sisi taman yang tak terurus. Di depan pintu, ada sosok lelaki yang sibuk sendiri dengan tanaman di kanan-kirinya. Sosok itu begitu Lena kenali.
"Kakak." Bibir Lena bergetar. Kakinya melangkah maju. Ia sudah hendak memeluk Kakak, tapi tangannya ditepis.
Lelaki dengan rambut hitam ikal sebahu itu menggeleng. "Sayangnya, aku bukan Kakak, tapi kurasa kamu hanya akan mendengarkanku dalam wujud ini. Jadi, anggap saja Kakak."
Tangis gadis yang kurus kering itu pecah. "Kenapa kamu memberitahuku, kalau kamu tetap ingin kuanggap Kakak?"
"Karena Tuhan tak akan mengizinkanku membohongimu." Makhluk itu tersenyum miris. "Lalu, aku juga sedih mendengar doamu setiap malam. Kenapa kamu mencari Kakak dalam mimpi, padahal selama ini ia ada di hatimu?"
Lena terdiam.
"Kakak beda dunia sekarang. Aku pun beda dunia denganmu, tapi dengan kondisi jiwamu yang seperti itu, aku jadi bisa menemuimu." Sosok yang meminjam wujud Kakak itu tampak ingin meraih pucuk kepala Lena, tapi urung. "Sebenarnya ini terlarang. Semoga Tuhan mengampuniku."
Rambut Lena yang kering tertiup angin. "Aku sudah benar-benar tidak bisa berjumpa dengan Kakak lagi, ya?"
"Bisa. Nanti, Lena. Di akhirat nanti, kamu bisa minta pada Tuhan. Kamu tahu itu, kan?"
"Kalau aku menjemput ajalku lebih dulu, akankah aku lebih cepat bertemu Kakak?"
"JANGAN!" Lelaki itu melotot. "Kalau kamu melakukan hal itu, kamu akan celaka. Selamanya. Dan Kakak tidak akan pernah bertemu denganmu!"
Kepala si gadis merunduk. "Aku lelah hidup."
"Sedikit lagi, Lena. Kalau sudah waktunya, kamu akan dijemput dalam kondisi terbaik, kok."
Mata Lena mengerjap. "Sebenarnya, kamu siapa?"
Bibir makhluk itu membisu. Ia hanya tersenyum tipis, kemudian menyingkir dari ambang pintu. "Masuklah. Semoga ini bisa mengobati hatimu."
Keraguan menghinggapi benak Lena. Ia memejamkan mata. Ini hanya mimpi. Seharusnya tidak masalah.
Cahaya putih lembut menyapa mata Lena. Kilasan memori antara Lena dan Kakak terbentang seperti album raksasa di hadapannya.
"Semoga kita tidak berjumpa lagi, Lena." Suara makhluk itu terdengar sayup. "Semoga kamu bahagia selalu."
Satu per satu, fragmen ingatan itu berubah jadi serpihan serupa kristal. Tubuh Lena seakan memiliki magnet untuk menyerap semuanya. Anehnya, perasaan Lena menjadi tenang. Tinggallah Lena di ruangan putih bersih itu. Lena mau keluar, tapi pintunya hilang.
"Oh ya, pesan terakhir." Suara makhluk itu muncul lagi, kali ini menggema. "Jangan berputus asa dari rahmat Tuhan, ya? Kakakmu tidak suka."
Tidak ada ruang putih. Tidak ada kastil di tengah hutan. Lena terduduk di kamarnya yang mungil. Mimpinya sadar dan nyata—Lena bahkan masih bisa merasakan tanah di kakinya.
Siapa makhluk itu sebenarnya? Apa yang sebenarnya ia inginkan?
Lena meraih ponsel dan menatap foto dirinya bersama Kakak. Sebuah notifikasi muncul di atasnya.
"Lena, mulai besok, kamu naik pangkat ya. Silakan temui saya untuk teknis pekerjaannya di ruang HRD esok hari. Mohon maaf menghubungi malam-malam."
Air mata Lena mengalir lagi, kali ini untuk alasan yang berbeda.
Tema day 2: Lucid Dream
Anyway, banyak yang terjadi hari ini. Semoga kalian semua baik-baik saja, yah :)

YOU ARE READING
How Does Your Finger Taste?
Short Story[DWC NPC 2023] Aku ingin mencicipi jarimu. Aku ingin merasakan cerita macam apa yang mengalir dari sana, dan aku juga ingin mencoba sentuhanmu yang konon membuat mabuk kepayang. Bolehkah aku mencicipinya? -ia2023. PS. Ini kumcer 🙏