iii ;

335 39 2
                                    

Ketika terjaga dari tidur, Nagi menemukan dirinya sendiri berada di bangsal asing. Ia tidak pulang ke apartemennya semalam, melainkan tetap tinggal di hunian besar itu setelah menghabiskan makanan sang tuan muda. Lelaki berambut ungu hanya diam dan menatapnya tanpa bicara sepatah katapun.

Nagi anggap itu sebagai persetujuan (untuk menghabiskan makan malamnya).

Tiba-tiba suara telepon mengusik indra pendengaran. Sang kepala pelayan semalam juga menjelaskan bahwa suara telepon adalah tanda bahwa ia harus segera bertugas.

Nagi tidak punya banyak waktu setelah mengangkat panggilan yang menyuruhnya pergi ke gedung berkubah. Buru-buru ia mengganti baju tidur (yang didapat secara gratis) dengan seragam formal.

Lelaki itu berlari ke kamar mandi dan mencari-cari sesuatu untuk membuat tubuhnya cukup wangi sebelum berkeliaran sepanjang hari. Ia berhasil menemukan parfum. Nagi memakai beberapa semprot di ketiak sebelum bergegas keluar.

Mereka menyediakan peta kenampakan kompleks besar ini di sebelah pintu luar bangsal karyawan. Semalam Nagi memutuskan untuk berdiri di depan sana selama beberapa menit untuk menghafal semuanya.

Dan itu sangat berguna sekarang.

"Selamat pagi," sapa sang tuan muda begitu Nagi tiba di gedung berkubah.

Lelaki bersurai ungu tengah duduk di meja makan sembari menikmati sarapan. Ia menatap lamat-lamat dengan sorot yang entah apa artinya. Tangannya lalu menepuk-nepuk kursi kosong di sebelah.

"Temani aku makan."

Nagi tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan perintah barusan. Ia langsung duduk di sebelah Mikage Reo tanpa takut akan apapun. Lagipula kenapa pula lelaki itu harus menolak sarapan gratis?

Koki dapur menghidangkan bubur dengan kaldu ayam dan telur yang diaduk lembut. Cocok untuk orang sakit, namun enak untuk orang sehat. Hangat dan cukup mengisi perut (walaupun tidak dalam waktu lama).

"Kau tidak takut kalau buburnya beracun?"

Nagi yang sedang mengangkat sendok ketiga tiba-tiba berhenti. Manik kelabu melirik ke samping, seolah bertanya apa kalimat tadi benar adanya.

Tapi yang ia dapat hanya kekeh pelan.

Dan pandangan terkejut semua orang di sekeliling ruangan.

"Tidak perlu takut," imbuh Reo kemudian tersenyum, "lagipula tidak ada yang berniat meracunimu di sini."

Sendok ketiga tadi langsung dihantar masuk ke dalam mulut. Nagi melanjutkan makan siang sambil menerima fakta bahwa Tuan Muda Mikage sudah menerima kehadirannya.

;

Nenek sihir berkata tuan muda mereka jarang sekali tertawa. Itu menjelaskan mengapa semua orang terkejut di ruang makan pada sarapan tempo hari. Nagi seratus persen yakin sosok di sebelahnya masihlah tuan muda yang pernah menjatuhkan diri dari atap gedung. Namun sekarang raut sedih itu sudah berubah lebih cerah. Sedikit.

Entah bagaimana rupanya ketika si surai putih kembali ke bangsal pelayan. Tapi setiap telepon berdering dan ia datang, Mikage Reo selalu tersenyum. Mungkin ini saatnya lelaki itu berperan sebagai teman asli.

Walaupun semua ini atas dasar gaji.

"Nagi-kun," panggil sang tuan muda ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman. Bukan yang ada di depan mansion, melainkan area di sekeliling gedung berkubah.

Nagi tidak bisa mengelak juga bahwa setiap sudut tempat ini ditata dengan begitu estetik. Seharusnya memandang setiap hari bisa membuat hati merasa damai. Tapi mungkin menikmati hal indah yang sama selama bertahun-tahun juga dapat membuat seseorang makin tertekan.

会いたい (I want to meet you) | nagireoWhere stories live. Discover now