[isekai jalur beli seblak]

57 22 4
                                    

"Bang, beliin seblak dong."

Uang pecahan dua puluh ribu rupiah terulur pada pemuda yang masih makan dengan porsi kuli. Jangan lupa pakai tangan dan kaki terangkat satu. Ciri khas warga konoha secara turun temurun.

"Matanya dipakai ya dik." Pemuda itu mengacungkan jari tengah pada gadis yang berdiri di hadapannya.

"Terserah, pokoknya beliin! Atau gue bilangin Emak kalau Abang kemarin yang mecahin gelas!" ancam gadis itu.

"Curang banget lo! Minimal biarin yang dipiring ini habis dulu kek."

Mengacungkan kedua jari tengahnya, gadis itu menaruh uang dimeja makan lantas berlalu kembali kekamar. Menunggu sang babu-- maksudnya kakak membelikan ia seblak.

"Tu Bocil epep PMS apa gimana ya?" Pemuda itu menggeleng, lantas melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.

Nasi lauk pauk telah habis. Pemuda itu mencuci tangannya, meninggalkan piring di wastafel. Biar adiknya saja nanti yang cuci. Ciri-ciri kakak biadab. Kemudian menyambar uang dimeja makan. Mengambil kunci motor lantas keluar dari rumah.

Melihat seorang wanita paruh baya menyapu halaman, pemuda itu menghampiri. "Mak, Dimas mau beliin anakmu seblak dulu ya. Mau nitip nggak?"

"Nggak usah, ati-ati." Wanita paruh baya alias sang Emak melanjutkan kegiatannya.

Dimas mengangguk, "oke Mak."

Menaiki motor yang terparkir pada halaman, Dimas meninggalkan pekarangan rumahnya tanpa memakai helm. Soalnya anak Emak Sri tahan banting.

Ia melewati jalanan yang sekarang sedang ramai nan panas. Siang hari begini seharusnya Dimas tidur saja sampai sore, kalau bukan diancam sang adik, mana mau dia.

Tak lama kemudian akhirnya sampai pada warung seblak Bi Inah yang terkenal enak sejagad desa.

Syukurlah, tidak begitu ramai seperti biasanya. Kalau mengantri sambil mabar seru ini. Apalagi disini ada teman-teman tersayang Dimas.

"Ngapain Lu kesini bro? Tumben amat." Dimas menghampiri segerombol pemuda yang duduk melingkar. Ada mangkuk dengan sisa seblak, dan juga cangkir kopi.

"Disuruh pacarlu noh." jawab Dimas. Benar pemuda yang menyapanya tadi namanya Egra. Pacar Andin, adiknya.

"Tumben Ayank kagak titip gue." Egra bertanya, matanya terfokus pada layar ponsel miliknya.

"Dipikir pacar adek gue lo doang?"

"Parah sih." Gelak tawa terdengar karena perkataan pemuda lain.

Setelah Dimas memesan, Ia bergabung. Ikut mabar, mumpung disini ada jaringan internet gratis.

"Atas nama Dimas." Panggilan dari wanita cantik sampai pada telinga Dimas. Akhirnya setelah sekian purnama penantian, tiba juga seblak pesanan adiknya ini.

"Duluan bro, mau menyampaikan tugas dari tuan putri dulu." Dimas mengangkat kantung plastik berisi seblak, sebagai tanda undur diri.

"Ati-ati bro!"

"Yoi."

Ia beranjak pergi. Ingin cepat-cepat sampai rumah dan memeluk guling empuknya.

Sudah setengah jam semenjak ia pergi. Dan sepertinya Dimas apes. Sekarang ia tengah menunggu didepan warung yang sudah tutup. Menunggu hujan reda. Pakaiannya basah terkena guyuran air hujan. Beruntung bahwa plastik seblak adiknya tidak kena.

Bisa-bisa ia dibanting Andin nanti.

"Hujan oh hujan, kenape engkau turon?" Dimas menyanyikan lagu yang terkenal dari serial kartun bocah kembar botak favoritnya.

[BL] Under Your CradleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora