Menyusun Serpihan Kaca

43 36 35
                                    

Termenung sendirian di halaman sekolah, Lily, gadis remaja berusia 15 tahun, mendengar bisikan dan tawa mengejek dari teman sekelasnya bergema di telinganya, pengingat akan perbedaannya.

"Si Lily itu bau banget deh."

"Iya nih, gak kuat gue deket-deket dia."

"Kayak bau musang, gak sih? hahaha..."

Lily ingin diterima, dia menginginkan seseorang yang akan melihatnya melampaui kecacatannya dan menawarkan persahabatan yang tulus. Namun di awal usia remajanya saat itu, sepertinya keinginannya belum dapat terwujud.

Di antara kelompok yang suka membully, ada Ethan, seorang siswa yang terlihat ramah dan populer. Dibutakan oleh rasa tidak amannya sendiri, dia terkadang ikut mengejek Lily, tidak menyadari rasa sakit yang dia timbulkan. Jauh di lubuk hati, Ethan memikul rasa bersalah yang berat, namun dia acapkali kesal dengan privilege yang diberikan pada Lily karena kecacatannya itu.

Lily terlihat normal untuk dianggap cacat. Dia bisa berdiri, berjalan, meski kalau berlari agak aneh dan sangat lambat. Ethan menganggap privilege yang diberikan pada Lily lebih seperti memfasilitasi kemalasannya.

Lily yang lemah dalam olahraga seringkali diperbolehkan hanya duduk di pinggir lapangan. Disaat teman-temannya berpeluh kelelahan, Lily hanya menonton. Terkadang dia terlempar bola basket, atau tertendang, atau tertabrak jatuh tersungkur.

"Oops maaf Li, lagian elo duduk di sini sih. Gerak dikit kek. Pantat lo bisulan ya? Hahaha..."

"Li, maaf jadi kedorong. Lagian elo jalan kayak penguin banget."

Hal ini bagaikan hiburan bagi teman-teman sekelasnya yang menantikan momen untuk melakukan sesuatu pada Lily.

Ethan selalu menolak untuk dipasangkan dengan Lily. Dia enggan mendekatinya, bahkan cenderung jijik jika harus duduk di samping Lily. Lily bau, pakaiannya kadang kotor, memancarkan bau pesing dari percikan urin akibat kurang baiknya kemampuan mengontrol kandung kemih. Ethan terkadang harus menahan nafas jika berada di dekatnya.

"Li, mendingan elo duduk sama Marcel deh. Doi setipe sama elo tuh. Sama-sama bau, hahaha..."

Ethan dan teman-teman sekelas Lily tidak paham kondisi apa yang dialami Lily, kecacatan apa yang ada pada diri Lily. Mereka hanya melihat Lily sebagai seonggok makhluk menjijikkan.

Mereka tidak mengetahui bahwa Lily adalah orang yang sangat kuat, jauh sebelum dia dilahirkan, hingga dititipi kecacatan pada saraf tulang belakangnya, yang menjadikannya tidak seperti manusia lain.

Lily sudah terbiasa dengan rasa sakit. Ratusan jarum telah menancapi tubuhnya, puluhan pisau bedah telah mengoyak tubuhnya demi memperbaiki lubang cekung di antara punggung dan pinggangnya.

Dia tidak lagi merasa sakit karena terlempar bola tenis, atau tertendang, atau tersungkur karena didorong teman-temannya. Dia tidak peduli.

Lily hanya ingin belajar. Dia menemukan penghiburan dalam studinya, pikirannya selalu ingin tahu dan haus akan pengetahuan.

Dia sangat suka menenggelamkan dirinya pada buku-buku. Dengan membaca, dia merasa tidak berbeda, bahkan dia jauh melampaui mereka. Dengan membaca, dia bagaikan melihat seberkas sinar melalui lubang jendela, terasa menyilaukan namun hangat.

Perpustakaan sekolah merupakan sebuah sanctuary, tempat teraman, bagi Lily. Dunia buku menjadi tempat perlindungannya, membawanya kepada rumus-rumus mengasyikkan, membawanya ke negeri yang jauh dan mengenalkannya pada tokoh-tokoh yang petualangan dan kemenangannya mencerminkan kekuatan batinnya sendiri. Melalui bacaannya yang rakus, dia mengembangkan kecerdasan yang luar biasa.

Seberkas Sinar dari Jendela RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang