1.

211 36 4
                                    

"Jadi, kamu orangnya?"

Seseorang pernah berkata kepadanya bahwa skenario terbaik adalah perfect timing, perfect place di mana ada tempat dan waktu yang tepat untuk segala kejadian. Dalam kasus ini, di mana ia terjebak di koridor sepi gedung serbaguna, ia harus mengakui bahwa lawan bicaranya adalah seseorang yang telah mempertimbangkan aspek tersebut karena mau dilihat bagaimanapun, ia tidak terkesan mencurigakan karena telah mengatur pertemuan mereka bak kebetulan.

Sayangnya, manusia di hadapannya ini adalah seseorang yang tak diundang.

Hyunae tak mempercayai hal gaib. Tidak, ia bahkan tidak hobi menonton film horror walau tergabung dalam klub film dan buku.

Namun, semenjak malam yang 'berkesan' tersebut, ia tak yakin dapat memandang hidup dengan rasional lagi ke depannya.

"... Tidak sopan." Satu hal yang tidak ia sukai lainnya adalah berlaku bak senior arogan. Namun, di situasi sekarang, tampaknya itu satu-satunya jalan keluar. "Kalau memang punya urusan, perkenalkan dirimu dan hadapi aku baik-baik, apa-apaan cara bicaramu itu?"

Lelaki di depannya, dengan manik yang tajam runcing itu malah menyeringai. Sekilas ia tampak cerdas, sedetik kemudian ia tampak culas. Auranya menekan padahal Hyunae yakin si adam adalah adik tingkatnya, dengan jaket angkatan 20 yang terbalut di tubuh jangkung tersebut.

"Apa ini? Ternyata Kak Jay tidak bohong?" Tanpa penjelasan, si adam seolah bicara omong kosong selagi tak melepaskan netranya dari Hyunae. "Kamu memang pintar berpura-pura, ya? Kenapa? Apa lagi yang ingin kamu sangkal?"

"Apa yang ingin aku sangkal? Kamu bicara apa sebenarnya?" Kabur. "Kita tidak pernah bertemu dan aku tidak kenal siapa itu Jay." Aku harus kabur.

Tiba-tiba, laki-laki di depannya tertawa.

"Baiklah, rupanya kalian tidak sempat berkenalan." Binar di manik tenang sang adam membuatnya terkesan dewasa, walau dengan wajah yang manis dan postur yang tampak muda. "Lelaki yang menyelamatkanmu kemarin itu Jay. Park Jay. Dan aku ...

Namaku Yang Jungwon."

Yang Jungwon.

Caranya membawa diri tampak sangat berwibawa dan tidak berlebihan, di mana ia masih memahami posisinya sebagai seseorang dengan umur yang lebih muda. Kebalikannya, Jay yang ia temui semalam tampak dewasa dan berjiwa bebas. "Bukankah kamu berutang nyawa?"

Pertanyaan jebakan. Hyunae dapat merasakan antisipasi yang tertuang dalam nada bicara Yang Jungwon. "Jelas, aku hampir dilecehkan. Aku tentu berutang nyawa."

Sejenak, Jungwon bergeming. Hening yang diisi tanpa suara tersebut membuat tenggorokan Hyunae tercekat dengan keraguan yang membludak. Apa aku salah bicara? Apa dia menangkap adanya dusta?

"Kamu tahu bukan itu yang aku maksud."

Ah.

Sial.

Mereka mengirimkan orang yang lebih pintar, rupanya.

"Kamu mungkin bisa mengelabui Jay, tapi tidak dengan aku."

Hyunae tengah berada di persimpangan dengan jalan berduri dan penuh ranjau. Jika ia tetap menolak dengan alasan ia tidak tahu, maka Jungwon tidak akan segan untuk memberitahu apa yang ia maksud, dan Hyunae benar-benar tidak ingin tahu maupun terseret dalam lumpur yang bisa saja mencelakainya seperti malam itu.

Namun, jika Hyunae mengiyakan pertanyaan Jungwon, itu sama saja dengan menginjak ladang ranjau.

"Kamu terus memaksa aku untuk mengerti maksudmu," ucap Hyunae, sedikit getir akibat rasa yang campur aduk di dalam dirinya. "Jika boleh jujur, aku memang berterima kasih, tapi entah kenapa kalian seolah ingin menyeretku untuk memahami sesuatu yang berbahaya. Jangan-jangan ..."

Salvatore's SalvationWhere stories live. Discover now