▶[08] Tertutup

514 69 2
                                    

Orang yang saat ini kamu anggap tidak memiliki hati, mungkin saja batinnya sedang menjerit karena nyeri. Dunia ini dipenuhi dengan orang bertopeng, entah untuk menunjukkan kesempurnaan atau menutupi kesakitan; jangan simpulkan sesuatu yang bukanlah jangkauanmu.

 Dunia ini dipenuhi dengan orang bertopeng, entah untuk menunjukkan kesempurnaan atau menutupi kesakitan; jangan simpulkan sesuatu yang bukanlah jangkauanmu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hadir dari orang yang baru saja tiba membuat tiga orang wanita beserta seorang pria yang berada di teras kompak menoleh ke arahnya. Wanita berumur empat puluh lima tahunan pun segera mengembangkan senyum ketika mengetahui siapa yang berkunjung, begitu pula dengan gadis berkursi roda. Beda hal dengan remaja perempuan yang langsung membulatkan mata ketika mengetahui siapa laki-laki yang baru saja datang.

Arkan, pemuda tersebut melangkah menuju teras setelah melepaskan helm. Tanpa rona wajah heran saat mendapat hadirnya orang-orang asing dalam penglihatan—menjadi hal biasa adanya orang baru yang bertamu—di tempat ini. Namun, wajah dari gadis yang tetap menatapnya lekat terasa cukup familiar, dan tak perlu waktu lama hingga dia berhasil menyadari bahwa perempuan tersebut adalah murid baru yang sering kali bergabung dengan teman-teman sang kembaran.

Sesudah menyalami wanita paruh baya, serta melirik wanita yang ada di atas roda—sebagai bentuk sapa—dengan balasan berupa senyum hangat, dia diberi tepukan pelan pada pundak; berusaha mengecek kondisi dari tubuh yang cukup lama tak ditemui.

Menghiraukan sejenak orang-orang yang sebelumnya lebih dulu ada, si wanita paru baya—Elina—segera bertanya, "Ke mana aja?"

Sudah sekitar seminggu, waktu yang terbilang cukup lama jika diukur dari seberapa sering intensitas pemuda berjaket menyempatkan diri untuk mampir.

"Lagi banyak urusan, Bun. Baru sempet sekarang."

Mendapat penjelasan yang meski tidaklah lengkap sudah terasa cukup—Elina tentu paham tentang aktivitas remaja yang selain berlatih juga melatih karate, jadi berusaha maklum dengan hal tersebut meski khawatir dirasa ketika beberapa pesannya akhir-akhir ini sering telat dibalas. Apalagi setelah menyaksikan dengan netra sendiri beberapa luka yang tercetak di wajah pemuda tersebut.

"Kamu masuk gih, temuin anak-anak. Mereka kayaknya banyak yang belum tidur. Nanti Bunda cek luka kamu."

Mendengar kata anak-anak langsung menjadikan Arkan melangkah masuk, meninggalkan orang-orang yang sedari tadi terlihat fokus memperhatikan bagaimana interaksi Elina dengan dirinya.

"Maaf sebelumnya udah bikin nunggu."

Permohonan dari Elina kembali menarik perhatian tiga orang lain untuk tertuju pada wanita paruh baya tersebut.

Pria berumur empat puluh tahunan—Ferdi—menyahut, "Gak pa-pa, kok. Yang tadi, temennya anak-anak?"

Elina tersenyum sembari mengangguk tipis, tanpa niat menjelaskan lebih banyak mengenai siapakah sosok Arkan, sebab tak ingin menahan lebih lama tiga orang niatnya adalah pulang.

"Kalo gitu kami pamit dulu."

"Iya, saya titip Felisha ya, Pak."

"Pastinya, kami akan mengantar sampai selamat ke rumahnya."

RETISALYAWhere stories live. Discover now