Bagian 1: Mbok Srini

30 10 0
                                    

Dengan langkah tergesa-gesa, perempuan paruh baya itu keluar dari rumahnya yang berdinding anyaman bambu. Rumah itu kecil dan lebih cocok disebut dengan gubuk. Atapnya terbuat dari daun rumbia yang dikeringkan. Sementara lantainya, hanya terbuat dari tanah padat.

Ada cangkul di pundak perempuan itu. Sementara satu tangannya memegangi gagang cangkul, tangan yang lain menjinjing tas anyaman yang cukup besar. Dari dalam tas tersebut, menyembul tutup bakul nasi dan beberapa lembar daun pisang yang disobek kecil-kecil. Wajah perempuan itu berseri-seri, berbanding terbalik dengan kisut dan keriput di sana. Perempuan itu tidak terlihat lelah meski membawa alat pertanian yang cukup berat.

Mbok Srini, nama perempuan itu. Sudah lebih dari dua puluh tahun Srini hidup dengan status janda tanpa anak. Kesepian sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang baru untuk perempuan itu. Jika ada kata lain untuk mendeskripsikan kesepian itu, Srini pasti sudah mengatakannya. Namun, tidak ada kata apa pun yang bisa mendeskripsikan hidupnya yang sebatang kara.

"Mbok!"

Baru sampai di ladang, Srini sudah disambut oleh beberapa orang lainnya. Seorang laki-laki menghampiri dan mengambil alih tas anyaman yang dijinjingnya tadi. Srini mengucapkan terima kasih dan mengikuti langkah lelaki tersebut menuju gubuk.

"Wah, makan besar kita hari ini," seru seorang di antara mereka saat melihat sayap ayam menyembul dari kuah santan. Yang lain segera ikut melongok untuk melihat lauk yang dibawakan Srini.

"Kebetulan ayam di rumah sudah cukup umur. Sayang kalau ndak dipotong, nanti makin tua makin alot dagingnya. Karena di rumah cuma aku sendirian, jadi ya, kubawa saja ke sini untuk kalian."

"Menikahlah lagi, Mbok. Kasihan sekali, kau sendirian begitu."

Srini tertawa mendengar usulan salah satu tetangganya tersebut. "Laki-laki mana memangnya yang mau sama perempuan tua sepertiku?"

"Kau belum tua, Mbok. Cuma perlu didandani sedikit. Paling tidak, kalau kau menikah lagi, ada yang menemanimu makan di rumah."

Mendengar hal itu, Srini tersenyum kecut. "Dibandingkan seorang suami, aku lebih suka memiliki seorang anak. Laki atau perempuan sama saja, yang penting mau membantuku mengurus rumah dan ladang."

Kini, ganti tetangga-tetangga Srini yang menertawakannya. "Kalau kau tidak menikah, memangnya kaubisa punya anak?"

Srini tercenung. Benar juga!

Mungkin keinginannya ini terdengar muluk-muluk bagi orang lain. Namun, sejak suaminya masih hidup, impian memiliki anak itu sudah ada dan berkobar di dalam hati Srini. Bertahun-tahun Srini dan suami melakukan segala macam cara agar bisa memiliki anak, tetapi tidak ada satu pun usahanya tersebut yang membuahkan hasil. Hingga akhir hayat suaminya, Srini belum juga hamil.

Raut wajah Srini berubah gelap. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Harapannya untuk bisa memiliki anak, sepertinya memang harus pupus sekarang. Srini harus ikhlas dan mengubur dalam-dalam impian tersebut.

"Mbok, apa Mbok sudah pernah coba minta pada Buto Ijo?"

Buto Ijo?

Srini menggeleng. "Memangnya, Buto Ijo itu betul-betul ada?"

"Wah, Mbok betulan ndak tahu?"

Srini kembali menggeleng. "Kupikir, Buto Ijo itu cuma mitos buat nakut-nakuti bocah." Srini lantas tertawa.

Tentu saja, siapa memangnya yang pernah bertemu dengan sosok raksasa dengan tubuh berwarna hijau itu? Seandainya ada, Srini tidak akan ragu lagi untuk meminta bantuan pada Buto Ijo itu. Sejak bertahun-tahun lalu Srini mendengar tentang raksasa yang bisa mengabulkan doa-doa. Raksasa itu tinggal di dalam sebuah gua di lereng gunung Lawu. Bertahun-tahun pula Srini menahan keinginannya untuk pergi ke gunung Lawu. Ia tidak ingin kecewa, sudah berjalan sejauh itu dan tidak menemukan hal yang ia cari.

"Aku bisa mengantarmu, Mbok. Besok pagi mari kuantar ke gunung Lawu."

Srini tersenyum tipis. "Tidak perlu. Aku ndak mau menggantungkan harapan pada sesuatu yang belum pasti."

"Kalau kau belum mencobanya, kau ndak akan tahu." Seorang tetangga kembali memberinya harapan. "Selagi kita punya harapan, sah-sah saja kalau kita menggantungkannya. Entah pasti atau tidak, kita ndak akan tahu sebelum mencobanya."

Srini memikirkan kata-kata itu cukup lama. Ia tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat. Namun, ia juga tidak ingin terlalu memikirkannya. Selama ini, baginya, cerita tentang Buto Ijo itu hanyalah sebagian dari cara orang tua menakuti anak-anak mereka agar tidak bermain terlalu jauh dari rumah. Srini tidak bisa menganggap cerita isapan jempol itu sebagai sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menggantungkan harapan. Tidak untuk saat ini.

"Pikirkan saja dulu pelan-pelan, jangan dipaksa." Seorang tetangga perempuan memberi saran dan menengahi. "Kau tidak bisa membuat seseorang yang tidak percaya, menjadi percaya dalam semalam."

"Kecuali kalau bisa melihat langsung, pasti akan langsung percaya."

Srini bergeming. Apa benar begitu?

"Melihat langsung?" Srini hanya menjadi penonton dialog dua tetangganya yang masih memperdebatkan perihal keberadaan Buto Ijo. "Bagaimana caranya?"

Tetangga laki-laki Srini tersenyum jemawa. "Kalian tahu bagaimana Lurah Wage bisa menjadi demang?"

"Karena dipilih oleh bupati, kan? Semua orang juga tahu soal itu."

"Apa menurut kalian Lurah Wage itu orang yang memiliki kemungkinan untuk membuat bupati kita terkesan dan memercayakan jabatan demang padanya?"

Srini dan tetangga perempuannya terdiam. Lurah Wage bukanlah lurah idaman masyarakat. Semua kebijakaannya tidak pernah berpihak pada rakyat. Sejak Wage menjadi lurah, pertanian desa ini justru terpuruk. Harga-harga di pasar tidak terkendali. Srini yang biasanya menanam berbagai macam sayuran dan palawija di kebunnya, beralih memenuhi kebun tersebut dengan tanaman mentimun. Hanya tanaman itu yang ada harganya di pasar. Konon, Lurah Wagelah yang membeli semua timun hasil panen dari kebun penduduk desa. Sejak menjadi demang, Wage nyaris tidak pernah muncul lagi. Pertemuan para demang, seringnya hanya diwakili oleh perangkat kademangan. Ada yang bilang, Wage terkena penyakit menular. Ada juga yang bilang kalau sebenarnya Wage sudah meninggal dunia. Entahlah, Srini tidak pernah benar-benar memikirkannya.

"Wage itu zalim. Ndak seharusnya dia jadi demang, kan?" Pertanyaan itu terdengar menjebak, sekaligus memantik rasa penasaran dalam benak semua orang.

Kasak-kusuk segera terdengar. Semua orang berspekulasi. Semua orang berprasangka. Namun, kalimat pamungkas dari tetangga lelaki Srini tadi membuat semua spekulasi dan prasangka berkumpul menjadi sebuah kesimpulan.

"Pemilihan demang itu memerlukan waktu yang ndak sebentar untuk seleksi. Wage melewati proses seleksi itu dan langsung dipilih begitu saja. Apa menurut kalian itu bukan sesuatu yang aneh?"

"Tidak ada yang aneh kalau kita ndak berprasangka macam-macam," sahut Srini tenang. "Semua prasangka itu bisa menjadikan kita orang yang ndak punya hati nurani. Semua tuduhan itu bisa saja nanti berbalik menyerang kita."

"Tapi semua yang terjadi pada Wage bukan hanya prasangka. Aku melihatnya sendiri datang ke gunung Lawu dan bertemu dengan Buto Ijo. Lalu, aku melihatnya juga saat berubah menjadi seekor kancil di depan rumahnya."

Semua orang terperanjat dengan pengakuan lelaki itu. Srini menatap matanya dengan teliti. Hanya ada kesungguhan di mata itu. Meski sudah menatapnya penuh selidik, tidak ada kegentaran dalam mimik muka lelaki itu. Srini merasa semua orang yang ada di ladang saat ini setuju dengannya, karena kasak-kusuk kembali terdengar.

Timun Mas & Another Story of Buto IjoWhere stories live. Discover now