Lembar - 12

5.4K 844 57
                                    




"Silakan masuk, Mba Rea ... Bapak sudah menunggu di taman belakang."

Lebih dulu Rea mengangguk sopan pada perempuan berkerudung hitam yang membukakan pintu untuknya. Dia lantas mengikuti langkah sang asisten rumah tangga yang menemaninya menuju kursi santai di dekat kolam renang.

Rea tersenyum simpul ketika perempuan yang mengantarnya hendak berlalu. Beginilah keadaannya ... dia diperlakukan bak tamu di kediaman mertuanya.

Iya, mereka tidak dekat. Layaknya orang asing malah.

"Kakek ...." Dia lanjut menghampiri kursi yang terbuat dari kayu jati. Memasang senyum yang diolahnya sehingga tampak setulus mungkin, kemudian berdiri menunggu orang dengan kasta tertinggi di keluarga Ditiro menanggapi kehadirannya.

"Duduk, Rea ...."

Setelah kaki-kakinya terasa pegal, Rea baru mendengar perintah itu. Dengan gerakan yang anggun, dia memilih tempat di seberang kakek Candra yang masih sibuk membersihkan kandang burung.

"Kakek apa kabar?" tanya Rea basa-basi belaka. Sejujurnya dia ingin pembicaraan segera dimulai agar dapat secepatnya enyah dari sini. Aura Ditiro bertabrakan dengan kepercayaan diri yang dimilikinya.

Ditiro pergi ke sebelah taman untuk mencuci tangan. Sekembalinya ke kursi, dia baru menjawab, "Kesehatan kakek memburuk akhir-akhir ini."

Rea tak terkejut. Bukankah dari dulu memang sudah seperti itu? Usia Ditiro yang sudah cukup tua, sangat rentan terhadap serangan virus, bakteri, bahkan udara malam. "Kakek nggak seharusnya terlalu banyak aktivitas. Urusan bisnis sebaiknya diserahkan sepenuhnya pada anak-anak kakek saja."

Saran dari Rea terjeda saat pelayan berkerudung yang tadi, datang lalu menghidangkan secangkir teh.

"Terima kasih ...," kata Rea sebelum perempuan itu masuk lagi ke dalam rumah.

"Kakek memang sudah tidak mengurusi bisnis lagi." Ditiro menyangkal ucapan cucu menantunya. "Yang jadi beban pikiran kakek sekarang hanya masalah rumah tangga kalian."

Rea tetap mempertahankan raut wajahnya. "Ada apa dengan rumah tangga kami?" tanyanya santai sekali. "Kami baik-baik saja ...."

"Cicit ...." Inti persoalan yang membuat Ditiro memanggil Rea datang, diutarakannya. "Apa kamu sudah hamil?"

Meraih cangkir tehnya, Rea lantas menyesapnya perlahan. Panas. Air teh itu masih panas, sesuai dengan suasana di dalam dadanya. "Belum." Dia menyahut singkat selagi mengembalikan wadah dari keramik itu ke atas meja.

Ekspresi Ditiro tampak geram. "Sampai kapan kamu mau menundanya, Rea? Kalian sudah lama menikah."

Sampai kapan? Jangan tanyakan padanya, Rea juga tidah tahu jawabannya.

"Kakek sudah membahas ini sebelumnya dengan Candra. Kalau dia tidak juga mempunyai anak sebelum kakek meninggal, semua rumah sakit akan kakek pindahkan ke om-omnya karena dia tidak mempunyai penerus."

Oh ... jadi ini biang keladinya? Rea tertawa dalam hati. Lagi-lagi, anak yang menjadi korban dari keputusan sepihak dari orang tua. "Kakek jangan khawatir ... nggak lama lagi penerus Candra akan lahir."

Keriput di dahi Ditiro tampak bertambah dalam. "Kalian akan melakukan program kehamilan?"

"Kami nggak perlu melakukannya, Kek," sahut Rea sambil menyiapkan kejutan untuk sang penguasa di keluarga besar suaminya.

"Terus? Maksudmu apa?"

Rea bangkit, berjalan memutari meja, lalu duduk persis di sisi kiri Ditiro. Digenggamnya tangan ringkih itu lembut. "Selingkuhan Candra yang akan melahirkan penerus untuk kalian ...."

LANGGENG (Tamat)Where stories live. Discover now