Bab 7 : Teror Sandah

2.7K 197 7
                                    

Ketika malam datang, desa Tumbang Lais benar-benar sunyi. Sebelumnya, selepas magrib pun desa ini telah sepi. Apalagi setelah tersiar kabar ada warga yang mati jadi hantu, membuat kampung ini tak ubahnya desa mati.

Saat-saat seperti ini, biasanya ada beberapa warga yang membawa serapang untuk menombak ikan di sungai, menyusuri lanting demi lanting. Akan tetapi, tampaknya malam ini mereka lebih memilih berdiam diri di rumah sambil menonton sinetron di televisi.

Tiang listrik dipukul delapan kali oleh seorang petugas penjaga malam, menunjukkan waktu telah jam 8 malam. Tiga orang pria asing melangkah dari penginapan terapung yang ada di dermaga, berjalan menyusuri jalan desa yang sunyi. Tujuan mereka bukanlah ke hulu atau ke hilir, tapi ke "darat".

Berbeda dengan di Jawa yang menggunakan arah mata angin sebagai patokan, di Kalimantan masyarakat menggunakan sungai sebagai penentu arah. "Darat", adalah untuk daerah yang posisinya jauh dari bantaran sungai.

Tiga orang itu terus melangkah di malam yang sunyi tanpa bertemu siapapun di sepanjang jalan. Hanya satu orang yang mempunyai senter, yaitu yang paling tua dan berpengalaman. Dua orang lainnya yang masih muda, hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu teras rumah warga.

Tiga orang itu bergerak terburu, sewaktu lampu rumah yang mereka tuju mulai terlihat samar-samar dari kejauhan.

*****

Pukul 9 malam, suasana duka masih menyelimuti kediaman mendiang Apri. Waktu itu, rumah kecil di ujung kampung itu baru selesai mengadakan tahlilan. Lampu-lampu telah dimatikan, kecuali lampu teras dan lampu kamar.

Di pembaringan, ayah dan ibunya Apri tidak sanggup menahan sedih. Walau si ayah berusaha mengikhlaskan, tapi si ibu sangat tidak terima. Wanita malang itu larut dalam duka, hatinya hancur sehancur-hancurnya perasaanya seorang ibu. Meski anaknya kerap membuat onar, tapi ibu tetaplah ibu. Ia tidak terima anaknya meninggal dengan cara mengenaskan, muntah darah dan tubuh membiru.

Belum usai ayah dan ibunya Apri meratapi kesedihan, mereka dikagetkan dengan suara ketukan di pintu depan yang diiringi ucapan salam. Awalnya mereka tidak menghiraukan karena sangat awam orang kampung bertamu semalam ini. Apalagi, kabar Misnah bangkit jadi hantu membuat penduduk takut keluar rumah.

Namun, suara ketukan dan ucapan salam semakin kencang, membuat pasangan suami itu saling lirik. Didiamkan beberapa menit, gedoran di pintu depan tak juga berhenti hingga kaca jendela bergetar. Karena kesal si suami akhirnya bangkit.

"Waalaikum Salam," jawab ayahnya Apri.

Setelah pintu dibuka, ia kaget dengan tiga orang tamu asing yang berdiri di hadapannya. Ternyata, para tamunya adalah tiga orang polisi yang tadi sore ada di makam Misnah. Ayahnya mendiang Apri mempersilakan para tamunya masuk, lampu dinyalakan dan kopi dihidangkan. Malam itu, rumah mendiang Apri menjadi ramai dengan suara-suara obrolan penuh kecurigaan.

*****

Julak Sarkani duduk termenung di depan pondoknya, menikmati kopi di bale-bale ditemani cahaya bulan. Ia sibuk mengutak atik radio tua, mencari gelombang AM yang menyiarkan lagu keroncong kesukaannya.
Memang, malam ini ia sengaja tidur di ladang, sedangkan anak dan istri berada di rumah.
Sudah beberapa hari ini ladang tadah hujannya tak terawat, terlalu sibuk mengurusi kematian Misnah yang janggal. Bulir-bulir padinya yang mulai besar diserbu kawanan burung pipit, tikus, belalang dan hampangau.

Setelah beberapa saat, julak Sarkani tersenyum puas. Saluran radio yang menyiarkan lagu keroncong telah didapat, meskih tumpang tindih dengan suara kemeresek. Kakek itu lantas meraih bambu runcing yang tergeletak di samping. Bambu yang ia genggam memang berbeda dibandingkan bambu lainnya. Bambu itu lurus sepanjang tombak, tanpa ruas seperti pipa.

Sandah ( Kuntilanak Berwajah Lebar ) TAMATWhere stories live. Discover now