Chapter 6: Rumor Buruk

8 8 9
                                    

Keesokan harinya, saat kedua kaki mungil Ayang Kamala berjalan menuju lift—dia datang tidak terlalu pagi buta atau terlalu siang, pikirannya masih menggelung semakin rumit.

Sudah kesekian kali berusaha agar tetap tidak memedulikan yang terjadi. Akan tetapi, tamparan keras masih terasa, seolah bekas yang kemarin belum sepenuhnya mereda.

Rumor yang menimpanya kali ini, lebih mengusik pikiran Ayang daripada rumornya yang sedang dekat dengan Abel.

Kedua rekan kerja timnya yang sudah sampai lebih dahulu, menyapa Ayang yang baru datang. Keseriusan wanita berambut pendek yang sedang memikirkan kekhawatiran, terpecah akibat Abel datang dan mengejutkannya.

"Astaga, Abel! Masih pagi, jangan mulai deh," ucap Ayang merasakan degup kencang di dada akibat terkejut. Abel yang tertawa puas dan tersenyum jahil malah mencubit kedua pipi Ayang.

"Selamat pagi, Ayang..." seru Abel. Pria itu bisa melihat ekspresi Ayang yang merasa terganggu olehnya.

"Sekarang gantian giliranku!" balas Ayang mencubit pipi sebelah kanan Abel penuh kekesalan. Berlanjut mencubit lengan, dan memberi pukulan. "—Rasakan... Masih pagi sudah cari gara-gara, kamu Bel."

Padahal niat pria yang hari ini memakai setelan atasan kemeja putih serta celana berwarna abu-abu gelap itu, hanya ingin mengalihkan pikiran Ayang saja. Justru berakhir menjadi kemarahan wanita yang sudah berteman dengannya selama ini.

"Kamala..." sapa seseorang yang berdiri sekitar 4 meter dari jarak Ayang dan Abel bertengkar. Keduanya yang tadi meributkan perkara cubit-mencubit, sekarang mengalihkan perhatian pada seseorang yang ikut ke dalam bahan pembicaraan rumor pada hari sebelumnya.

Ayang melepaskan tangan yang digunakan untuk mencubit Abel. Dia menghela napas kasar, tidak menyangka akan didatangi pria itu ke kantor tempatnya bekerja. Bahkan, pria itu terlihat akan mendatangi dirinya langsung ke meja kantor sambil menenteng bungkusan kresek yang Ayang coba tebak isinya.

"N-N... Nik-ko?" Ayang memerhatikan raut muka Nikko yang sedikit gusar, malah terkesan memaksa untuk tersenyum tipis.

Nikko berjalan menghampiri Ayang dan Abel yang berdiri bersebelahan. Abel turut melihat Nikko dengan penuh tanda tanya.

Memangnya apa yang dia lakukan pagi-pagi ke kantor, batin Abel.

Setelah mendekat, Nikko berbicara kembali, "Untukmu, terimalah, Kamala." Ayang yang tidak bisa berkata-kata hanya mematung, sambil terus memerhatikan pria yang mengajaknya berbicara. Pikirannya menjadi kosong, ringan seperti kapas seolah dia memang telah meresetnya seperti awal baru dilahirkan.

Disusul dari belakang Nikko, mata Ayang melirik Dyan dan Guntara yang baru datang. Mereka yang awalnya hanya menunjukkan ekspresi biasa, seketika berubah ketika keduanya melihat dengan jelas siapa sosok yang berdiri memunggungi mereka tadi.

"Dia—pria yang hangat dibicarakan di grup kantor kemarin bukan?" tanya Dyan terkejut sampai dirinya tidak mengontrol perkataan yang akan dikeluarkan.

Guntara yang sedikit bisa membaca situasi, langsung menyenggol lengan Dyan dan berkata, "Dyan, diamlah. Dia hanya ingin memberi kopi untuk, Ayang. Bukan masalah besar, kan."

Sadar sudah dibantu Guntara, tanpa berkata apa pun, Ayang langsung menarik pergelangan Nikko agar mengikutinya. Meninggalkan Abel, dan rekan satu tim, bahkan beberapa orang lewat yang melihatnya penuh rasa penasaran.

Kerisauan menjadi semakin jelas pada tatapan mata Ayang. Sedangkan Nikko masih gusar penuh kebingungan. Pria itu menurut mengikuti langkah Ayang yang menyeretnya menuju lift.

Kedua telinga Nikko tidak kalah peka, menangkap beberapa orang yang membicarakannya. Seperti; lihatlah itu pria yang kemarin di grup kantor, jadi mereka benar-benar pacaran setelah acara selesai, dia lebih tampan dari gambar yang dikirim di grup, atau aku yakin Ayang yang memohon agar melanjutkan hubungan ke real life, dan masih banyak lagi.

𝐑𝐄𝐀𝐋𝐈𝐓𝐘 𝐒𝐇𝐎𝐖 𝐂𝐎𝐔𝐏𝐋𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang